Kemuliaan suatu ilmu
tergantung pada perkara yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Karena
tidak ada yang lebih mulia daripada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka ilmu
mengenal Allâh merupakan ilmu yang paling mulia. Cara mengenal Allâh
itu bisa dilakukan melalui :
- Ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda keagungan Allâh pada alam semesta atau seluruh makhlukNya), dan
- Ayat-ayat syar’iyah (tanda-tanda keagungan Allâh, pada syari’at atau agama-Nya).
Mengenal Allâh Azza wa Jalla mencakup 4 bagian yaitu :
- Mengenal keberadaan Allâh.
- Mengenal keesaan rububiyah Allâh.
- Mengenal keesaan uluhiyah Allâh (hak Allâh untuk diibadahi)
- Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla
Keempat
bagian ini merupakan satu kesatuan, tidak boleh dipisah-pisahkan.
Berikut ini penjelasan singkat tentang empat perkara di atas.
1. MENGENAL ADANYA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Kita
wajib meyakini bahwa Allâh Pencipta seluruh makhluk benar-benar ada,
walaupun kita tidak pernah bertemu, melihat, mendengar secara langsung.
Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Diantaranya firman
Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun (yakni tanpa Pencipta), ataukah
mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? [ath-Thûr/52:35]
Maksudnya, keadaan manusia atau makhluk yang sudah ada ini tidak lepas dari salah satu dari tiga keadaan :
a.
Mereka ada tanpa Pencipta. Ini tidak mungkin. Tidak ada akal sehat yang
bisa menerima bahwa sesuatu itu ada tanpa ada yang membuatnya.
b.
Mereka menciptakan diri mereka sendiri. Ini lebih tidak mungkin lagi.
Karena bagaimana mungkin sesuatu yang awalnya tidak ada menciptakan
sesuatu yang ada.
c. Inilah yang haq, yaitu Allâh Azza wa Jalla yang
telah menciptakan mereka, Dialah Sang Pencipta, Penguasa, tidak ada
sekutu bagi-Nya.
Seorang Arab Baduwi ditanya, “Apakah bukti tentang
adanya Allâh Azza wa Jalla?” Dia menjawab, “Subhânallâh (Maha Suci
Allâh)!
Sesungguhnya kotoran onta menunjukkan adanya onta, bekas telapak
kaki menunjukkan adanya perjalanan! Maka langit yang memiliki
bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, lautan yang memiliki
ombak-ombak, tidakkah hal itu menunjukkan adanya al-Lathîf (Allâh Yang
Maha Baik) al-Khabîr (Maha Mengetahui).”
Imam Ahmad rahimahullah
ditanya tentang hal ini, beliau menjawab, “Ada sebuah benteng yang
kokoh, halus, tidak ada pintu dan jendela.
Luarnya seperti perak putih,
dalamnya seperti emas murni. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba
temboknya terbelah, lalu keluarlah darinya seekor binatang yang dapat
mendengar dan melihat, memiliki bentuk yang indah dan suara yang merdu.”
Yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad adalah seekor ayam yang keluar
dari telurnya. [Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr, surat al-Baqarah, ayat ke-21]
Sesungguhnya
keyakinan adanya Sang Pencipta, Allâh Azza wa Jalla , merupakan fithrah
makhluk. Oleh karena itulah Fir’aun, bahkan Iblis, juga meyakini hal
ini. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan kaumnya
yang mengingkari mu’jizat Nabi Musa Alaihissallam :
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
Dan
mereka (Fir’aun dan kaumnya) mengingkarinya karena kezaliman dan
kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka
perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.
[an-Naml/27:14]
Oleh karena itu, tidaklah semata-mata seseorang meyakini adanya Allâh berarti dia adalah orang Islam atau beriman.
2. MENGENAL KEESAAN RUBUBIYAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Kita
wajib meyakini keesaan rububiyah Allâh, yaitu bahwa hanya Allâh yang
mencipta, memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh makhluk. Hanya Allâh
Azza wa Jalla yang menghidupkan, mematikan, memberi rizqi, mendatangkan
kebaikan, mendatangkan bencana.
Tidak ada sekutu bagi Allâh Azza wa
Jalla dalam seluruh perkara di atas, baik malaikat, nabi, wali, jin,
ruh, atau lainnya.
Rububiyah (mencipta, memiliki, dan
mengatur/menguasai) seluruh alam semesta ini hanyalah bagi Allâh semata.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Rabb (Pemilik, Penguasa) semesta alam. [al-Fâtihah/1:2]
Jenis
tauhid ini tidak diingkari oleh orang-orang musyrik di zaman
Rasûlullâh, bahkan mereka mengakuinya, sebagaimana dinyatakan oleh
beberapa ayat al-Qur’ân. Antara lain, firman Allâh Azza wa Jalla .
"Katakanlah,
“Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala
urusan” Maka mereka (orang-orang musyrik jahiliyah) menjawab, “Allâh”.
Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” [Yunus/10:
31]
Demikian juga Iblis mengakui hal ini, dia mengakui bahwa Allâh-lah yang telah menciptakannya dari api.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Allah
berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di
waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab “Saya lebih baik daripadanya:
Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”.
[al-A’râf/7:12]
Oleh karena itulah, seseorang yang meyakini adanya
Allâh dan keesaan kekuasaan-Nya belum bisa disebut orang Islam atau
orang beriman, sampai dia mengimani keesaan uluhiyah Allâh, juga
mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allâh, sebagaimana akan dijelaskan
di bawah ini.
3. MENGENAL KEESAAN ULUHIYAH ALLAH (HAK-NYA UNTUK DIIBADAHI).
Kita
meyakini bahwa yang berhak diibadahi hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Tidak boleh memberikan ibadah kepada selain Allâh, walaupun kepada
makhluk yang dekat kepada-Nya, seperti malaikat atau rasul Allâh Azza wa
Jalla . Apalagi kepada makhluk yang derajatnya di bawah mereka,
seperti: manusia, jin, binatang, pohon, batu, senjata, planet, bintang,
ataupun lainnya.
Tauhid inilah makna yang terkandung di dalam
perkataan Lâ ilâha illa Allâh, karena maknanya adalah tidak ada yang
berhak diibadahi selain Allâh. Dia Azza wa Jalla berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Katakanlah,
“Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah,”Bahwasanya Ilahmu (yang
kamu ibadahi) adalah Ilah Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri
(kepada-Nya)”. [al-Anbiyâ’/21:108]
Keimanan terhadap keesaan uluhiyah
Allâh (hakNya untuk diibadahi) ini adalah inti dakwah seluruh rasul.
Dan inilah yang diingkari oleh orang-orang musyrik dan kafir. Allâh Azza
wa Jalla berfirman.
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ ۖ
وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ﴿٤﴾أَجَعَلَ الْآلِهَةَ
إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
"Dan mereka heran
karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari
kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, “ini adalah seorang ahli
sihir yang banyak berdusta”. Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu Ilah
Yang Satu saja. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan. [Shad/38: 4-5]
Tujuan dari pengenalan keesaan uluhiyah
Allâh ini adalah supaya kita mencintai Allâh, tunduk kepada-Nya, takut
dan berharap kepada-Nya, serta mengesakan ibadah hanya kepada-Nya.
Ibadah
kepada Allâh yaitu merendahkan diri dan taat kepada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dengan penuh kecintaan, pengagungan, mengharapkan rahmat, dan
takut terhadap siksa. Hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan
perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya.
Adapun ruang
lingkup ibadah yaitu segala yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Azza
wa Jalla , baik berupa perkataan dan perbuataan, yang lahir maupun yang
batin.
Ibadah akan diterima oleh Allâh dengan dua syarat yaitu
ikhlas dan mutâba’ah. Ikhlas yaitu: mencari ridha Allâh semata,
sedangkan mutâba’ah, yaitu mengikuti Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad.
Oleh
karena itu orang yang meyakini keesaan hak Allâh untuk diibadahi, dia
akan mempersembahkan segala jenis ibadah hanya kepada-Nya semata. Di
antara jenis-jenis ibadah adalah ketaatan yang mutlak dengan harap dan
takut; kecintaan yang disertai ketundukan mutlak; do’a; niat di dalam
beribadah (ikhlas); menyembelih binatang; takut; tawakal; dan lainnya.
4. MENGENAL NAMA-NAMA DAN SIFAT ALLAH
Yaitu
mengimani dan menetapkan seluruh nama-nama Allâh dan sifat-sifat-Nya,
yang tersebut di dalam Kitab al-Qur’ân dan Sunnah yang shahih, dengan
tanpa menyerupakan dengan makhluk.
Allâh Azza wa Jalla berfirman,
وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ
يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya
milik Allâh asmâ-ul husnâ, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmâ-ul husnâ itu dan tinggalakanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [al-A’râf/7: 180]
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]
Sesungguhnya
Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Yang Paling Tahu segala perkara,
termasuk yang paling tahu tentang Allâh adalah Allah Azza wa Jalla
sendiri. Allah Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ
Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allâh?” [al-Baqarah/2: 140]
Demikian
juga yang paling mengetahui tentang Allâh di antara semua makhluk
adalah Rasul-Nya. Sehingga penjelasan para Rasul tentang Allâh Azza wa
Jalla adalah haq. Sedangkan perkataan orang-orang kafir dan musyrik
tentang Allâh hanyalah dugaan semata. Allâh berfirman :
سُبْحَانَ
رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ﴿١٨٠﴾وَسَلَامٌ عَلَى
الْمُرْسَلِينَ﴿١٨١﴾ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Maha
suci Rabbmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan
kesejahteraan dilimpahkan atas Para rasul, dan segala puji bagi Allah
Rabb seru sekalian alam. [ash-Shâffât/37: 180-182]
Oleh karena itulah
mengenal nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla hanyalah lewat jalan wahyu.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata tentang sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا
Sesungguhnya Allâh turun ke langit dunia
Atau :
إِنَّ اللهَ يُرَى فِي الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya Allâh akan dilihat pada hari kiamat
Dan
yang serupa dengan hadits-hadits ini, “Kami beriman kepadanya dan
membenarkannya, dengan tanpa (bertanya) bagaimana, tanpa (menetapkan)
makna (yang lain), tanpa menolak sesuatu darinya. Dan kami mengetahui
bahwa semua yang dibawa oleh Rasûlullâh n adalah haq, kami tidak menolak
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kami tidak mensifati
Allâh lebih dari yang Dia menyifati diri-Nya dengan tanpa batasan dan
akhir. (Allâh Azza wa Jalla berfirman :)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]
Dan
kami mengatakan (tentang sifat Allâh) sebagaimana Dia berkata; Kami
menyifati-Nya dengan semua sifat yang Allâh pergunakan untuk menyifati
diri-Nya; Dan kami tidak melanggar batasan itu. Dan penyifatan dari
orang-orang yang menyifati-Nya tidak sampai kepada hakikat-Nya. Kami
beriman kepada al-Qur’ân semuanya, baik yang muhkam (maknanya jelas) dan
mutasyabih (maknanya samar).
Dan kami tidak akan menghilangkan dari-Nya
satu sifat pun dari sifat-sifat-Nya karena kekejian yang dibuat-buat,
kami tidak melanggar batas al-Qur’ân dan al-Hadîts. Dan kami tidak
mengetahui hakekatnya keculai dengan membenarkan Rasûlullâh n dan
menetapkan al-Qur’ân.” [Lum’atul I’tiqâd, hlm. 3]
Inilah
bagian-bagian mengenal kepada Allâh dan beriman kepada-Nya. Semoga
penjelasan ini menambah ilmu bagi kita semua, dan semoga Allâh selalu
membimbing kita di atas jalan yang lurus. Aamiin