Muara dari perjalanan spiritual para penghayat spiritualitas Jawa, tidak lain untuk kebahagiaan hakiki – sebuah kehidupan yang mulia, melalui proses manunggaling kawula kalawan Gusti, atau tumbuhnya kesadaran akan sifat roroning atunggil (dwi tunggal) di dalam diri, yang ditunukkan oleh konsep Aku ing sajroning Ingsun, Ingsun ing sajroning Aku . Ajaran spiritual Jawa membimbing para penghayatnya untuk memasuki kondisi hening, sehingga bisa bertemu dengan alam sunya ruri. Mereka yang telah mencapai titik ini, akan mendapatkan ketenangan batin sekalipun menghadapai situasi dan kondisi yang sangat gawat. Karena antara manusia sebagai mahluk dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta terjadi titik temu yang harmonis.
Batin manusia selalu tersambung dengan getaran energi Tuhan: kehendak Tuhan menjadi dasar atas segala tindakan yang dilakukannya. Atau disitilahkan sebagai sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair. Sesotya adalah ungkapan yang mengandaikan Tuhan bagaikan permata yang indah tiada taranya. “Permata” yang menyatu ke dalam embanan. Embanan sebagai ungkapan dari jasad manusia. Penghayat ajaran Jawa yang telah sampai pada tujuan perjalanan, adalah sosok sebagaimana dilukiskan dalam The Book of Mirdad karya Mikhail Naimy, pujangga keturunan LebaNon sahabat Kahlil Gibran:Ia yang berpikir, berbicara,bertindak,bersikap, dan berkehendak selaras dengan Kebenaran (karena Kebenaran, Tuhan, telah bersemayam di dalam dirinya!).
Untuk mencapai kondisi di atas, penghayat spiritualis Jawa perlu menumbuhkan kesadaran hakiki lapis demi lapis, melalui kegiatan semedi dan rangkaian laku prihatin. Semedi adalah meditasi ala Jawa: seseorang menarik diri dari kesibukan raga dan pikiran, berkonsentrasi pada helaan nafas, dan perlahan-lahan memasuki alam hening. Pada titik tertentu, pelaku semedi diharapkan bisa bertemu dengan Sukma Sejati atau Guru Sejati, cermin keberadaan Gusti Allah di dalam diri. Lebih jauh lagi, pelaku semedi juga diharapkan bisa mengalami persentuhan dengan Kekosongan Sejati (alam sunyaruri). Melaluisemedi, mata batin kita menjadi terasah.
Cakrawala pandang kita, dunia yang kita sentuh, akan melampaui apa yang selama ini begitu terbatas karena sekadar mengandalkan pencerapan oleh panca indera. Sementara itu, laku prihatin adalah pelengkap dari kegiatan semedi: di sini, berbagai kegiatan pengendalian hawa nafsu sekaligus ekspresi kewelasasihan kepada sesama dalam rangka hamemayu hayuning bawono dikondisikan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup seorang penghayat spiritualitas Jawa. Melalui peningkatan intensitas dan kualitas semedi maupun laku prihatin, diasumsikan seorang penghayat spiritualitas Jawabisa makin dekat dengan jatidirinya, makin tak berjarak dengan Sang Esensi, Hyang Yaktining Hurip. (Gusti ingkang papanipun ing bagusing ati), yang pada titik idealnya disebut dengan keadaan manunggaling kawulo kalawan gusti.
Seorang penghayat spiritualitas Jawa yang konsisten, akan mengalami peningkatan kesadaran secara terus menerus, dari kesadaran ragawi, kesadaran rasional, hingga kesadaran sukma dan rasa sejati. Makin lama, doktrin yang beku, rumusan kebenaran yang bersifat eksternal yang dikondisikan atau dijejalkan dari luar, makin ditinggalkan, seiring dengan meningkatnya kesadaran bahwa sumber kebenaran itu sebenarnya ada di dalam diri. Saat yang sama, keselarasan dengan alam semesta makin meningkat: diri ini makin terasah untuk membaca tanda-tanda alam, alam telah menjadi buku suci yang menginformasikan keagungan Sang Pencipta sekaligus hukum-hukum-Nya yang kekal.
No comments:
Post a Comment