Laman

Showing posts with label Tasawuf. Show all posts
Showing posts with label Tasawuf. Show all posts

Manusia itu sesungguhnya mati, kecuali yang berilmu, yang berilmu pula tertidur, kecuali yang mengamalkan ilmunya, yang mengamalkanya pula tertipu, kecuali yang Ikhlas.

Maka, ingatlah, janganlah tertipu, walaupun, penipuan yang tidak disedari, ingatlah, apabila nyata ketiadaan dirimu itu, maka nyatalah yang ADA, siapakah yang Ada itu? tidak lain, KEBENARAN (Al Haq), oleh karena itu, “matikanlah dirimu sebelum kamu mati”, maka, siapakah yang ada setelah kematian dirimu itu? tidak lain, AKU ( Al Haq) lah yang Ada.

Setelah Dia yang ada, maka selain dariNya adalah, fatamorgana, hanya bayangan, hanya kekosongan dan sesungguhnya Dialah yang meliputi kekosongan dan ketiadaan dirimu itu, maka ingatlah, kekosongan dirimu itulah, dan ketiadaan dirimu itulah SINGGAHSANA NYA, dan di situlah Dia bersemayam, bukan pada jasadmu, bukan pada jiwamu, bukan di hatimu, dan bukan juga pada ruhmu.

oh.. betapa indanya ini, bagi yang mengerti

READ MORE

IBLIS hakikatnya adalah ego, yaitu keadaan keterpisahan dari ke-ESA-an, disebabkan kelamnya hati. Maka dari sebab iblis/ego inilah muncul segala macam syetan.

SYETAN artinya adalah jauh, yaitu segala kondisi hati, fikir, dan perbuatan yang jauh dari Tuhan/Kesucian. Sehingga sehari-hari hanya ada panas neraka membakar di dada: benci, jengkel, amarah, dendam, iri, dengki, dan sebagainya.

KAFIRUN artinya adalah orang yang menutupi, yaitu menutupi/mengingkari nur ilahi yang ada pada dirinya. Sehingga perbuatannya hanya merusak, jauh dari kesucian, jauh dari Rohman Rohim (kasih sayang). Dengan kata lain kafirun adalah pelaku syetan (jauh) tadi.

Segala ritual (sistem ibadah) dalam semua agama di dunia ini tujuan hakikinya adalah untuk membersihkan hati dari ego/iblis, yang otomatis akan membersihkan syetan - syetan (perbuatan jauh dari suci). Menjauhkan diri dari laku kafir (menutupi) Nur Ilahi pada diri.

Namun justru kebanyakan orang menggunakan ritual - ritual agama untuk menuruti ego/iblisnya, sebab ketidakpahaman akan hakikat agama. Sehingga ritual (sistem ibadah) yang dilakukan bukannya membersihkan hati tapi malah menjadi laku syetan. Termasuk ingin surga sekalipun, itu tetap saja menuruti ego/iblis.

Maka betullah sabda nabi: "tidurnya orang alim (ahli hakikat makrifat), lebih utama dari pada sholatnya orang bodoh." Ya sebab itu tadi, orang yang tidak paham hakikat dan makrifat, segala perbuatannya hanya didasarkan ego/iblis.

Ketika masih awam ya boleh - boleh saja menggambarkan iblis, syetan, dajjal, malaikat, dan lain - lain sebagai sosok tubuh ada kepala dan anggota badan. Kalau iblis dan syetan digambarkan berkobar ada tanduknya, malaikat digambarkan bercahaya ada sayapnya, dajjal digambarkan matanya satu. Semua selalu dianggap wujud dan bentuk materi, bahkan surga dianggap sebagai istana dan bidadari, neraka dianggap kubangan/jurang besar yang berisi api.

Sekali lagi kalau sekedar penggambaran ya silakan saja, untuk mbujuki yang masih berada di level paud atau TK. Tapi kalau sudah puluhan tahun ngaku beragama kok masih mensosokkan kayak gitu ya rasanya tidak pas.

Agama itu ranahnya selalu sifat dan rasa, sebab sifat dan rasa adalah abadi. Agama ranahnya adalah semua yang abadi, bukan sosok, materi, atau fisik. Hanya saja sering di disimbolkan dan ibaratkan oleh para Rasul dengan wujud - wujud fisik dan materi, karena tingkat pemahaman manusia umum masih pada level fisik dan materi. Apa ada manusia yang mau hanya disuruh baik tanpa dibujuki imbalan fisik/materi? Maka akan selalu ada para pembimbing hati yang memahamkan hakikat - hakikat dari semua yg disampaikan para Rasul.

Pahamilah ini dengan kedewasaan jiwa, sambung rasa kepada jiwa Rasulullah. Sehingga kita tidak mungkin menunjuk iblis, syetan, ataupun kafir kepada yang di luar diri kita, sebab itu semua justru kenyataan diri kita sehari - hari. Bahkan manusia suci pun tidak akan menunjuk - nunjuk orang lain.

Maka raihlah kesucian hati untuk memusnahkan segala keburukan tersebut dari diri. KELUARLAH DARI CERITA MENUJU KENYATAAN... ini 

READ MORE

Ali bin Abu Thalib ra pernah bertanya sama Rasulullah Muhammad SAW.,Apa Sesunguhnya., yang di sebut Sunah..?

Rasulullah Muhammad SAW., menjawab.,

- Ma'krifat Adalah Modalku. - Akal Fikiran Sumber agamaku.- Cinta adalah Dasar Hidupku.- Rindu Kendaraanku.- Berzikir adalah Kawan dekatku.- Keteguhan Perbendaharaanku.- Duka adalah Kawanku.- Ilmu Senjataku.- Ketabahan adalah Pakaianku.- Kerelaan Sasaranku.- Faqir adalah Kebangganku.- Menahan diri Pekerjaanku.- Keyakinan Makananku.- Kejujuran Perantaraku.- Ketaa'tan adalah Ukuranku.- Berjihad Perangaiku.- Dan hiburanku dalam Shalat.


1. Ma'krifat Modalku.

Awalaudin Ma'krifatullah.Awal beragama nengenal Allah SWT.

Man Arafa Nafsahu Wa Qod Arafa Rabbahu.Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.

Hikmahnya.Baru awal..!!??Bukan puncak..!!??

Hati-hati..!!! Terjebak dengan Ma'krifat Iblis dan Ma'krifat Firau'n.

Jangan mengharapkan Tahta, Harta dan Prestise.


2. Akal fikiran Sumber Agamaku.

Sesungguhnya., Ilmu Ma'krifatullah bisa dieterima oleh Akal sehat, Empiris, Rasional dan Ilmiah.

3. Cinta adalah Dasar Hidupku.

Rasulullah Muhammad SAW., berjihad juga dengan Cinta. Bukan karena dendam, benci dan lain-lain.

4. Rindu Kendaraanku.

Rindu bertemu dengan Allah SWT.Baik di Dunia dan di Akhirat.

5. Berdzikir teman dekatku.

Hikmahnya.

  • a. Agar Iblis dan Jin tidak berdaya menggoda.
  • b. Seperti HP., Agar selalu OL dapat sinyal dan lain-lain, agar siap menerima SMS dan Panggilan dari Allah SWT
Dengan begitu kita akan bisa membedakan, mana petunjuk dari Allah SWT (Ilmu Laduni), Iblis dan Jin.

6. Keteguhan perbendaharaanku.

Berpegang teguh pada tali Allah SWT.

Itibar.Berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunah Rasulullah Muhammad SAW. Tidak akan pernah sesat selama-lamanya

7. Duka adalah kawan dekatku.

Hidup penuh dengan cobaan, tapi tidak bersediih dan berduka cita.

8. Ilmu adalah Senjataku.

Agar tidak tertipu dan kena tipu.

9. Ketabahan adalah pakaianku.

Selalu bersabar dan bersyukur, walau apapun yang terjadi.

10. Kerelaan Sasaranku.

Ikhlas dan Lillahi Taa'la..Tidak mengharapkan upah, penghargaan, prestise dan lain-lain.

11. Faqir kebanggaanku.

Kutipan Hadits.- Sorga di penuhi oleh orang miskin.

  • - Allah SWT., malu menghisap oarang miskin yg Shaleh.
  • - Sesunguhnya bukan kemiskinan yg ku takutkan terhadap umatku, tapi adalah kemewahan.
  • - Yang di sebut rezeki adalah, apa yg habis dimakan dan dipakai, sisanya akan di minta pertanggung jawabannya
12. Menahan diri Pekerjaanku.

Menghilangkan sifat.- Sombong.- Ujub.- Ria.- Iri.- Dengki.- Takabur.- Pendendam.- Kikir.- Dan lain-lain.

13. Keyakinan Makananku.

Apa-apa yang dikatakan siap di pertanggung jawabkan Dunia dan Akhirat.

14. Kejujuran Perantaraku.

Kunci Islam adalah Jujur. Terutama Jujur pada diri sendiri dan Allah SWT.

Inilah salah satu syarat, Shalat bisa Khusyuk atau Shalat merupakan Mi'rajnya orang Muslim.

15. Ketaatan Ukuranku.

Iman itu bisa naik turun, jika di ukur dari kataatan.


16. Berjihad Perangaiku.

Jihad = Johud = Bersungguh-sungguh.

Kutipan Hadits.Puncak Islam adalah Jihad.

17. Hiburanku dalam Shalat.

Walau seberat apapun beban hidup, akan terhibur dengan Shalat.

READ MORE

Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada perkara yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Karena tidak ada yang lebih mulia daripada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka ilmu mengenal Allâh merupakan ilmu yang paling mulia. Cara mengenal Allâh itu bisa dilakukan melalui : 
  • Ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda keagungan Allâh pada alam semesta atau seluruh makhlukNya), dan 
  • Ayat-ayat syar’iyah (tanda-tanda keagungan Allâh, pada syari’at atau agama-Nya).
Mengenal Allâh Azza wa Jalla mencakup 4 bagian yaitu :
  1. Mengenal keberadaan Allâh.
  2. Mengenal keesaan rububiyah Allâh.
  3. Mengenal keesaan uluhiyah Allâh (hak Allâh untuk diibadahi)
  4. Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla 
Keempat bagian ini merupakan satu kesatuan, tidak boleh dipisah-pisahkan. Berikut ini penjelasan singkat tentang empat perkara di atas.

1. MENGENAL ADANYA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Kita wajib meyakini bahwa Allâh Pencipta seluruh makhluk benar-benar ada, walaupun kita tidak pernah bertemu, melihat, mendengar secara langsung. Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Diantaranya firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ 

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun (yakni tanpa Pencipta), ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? [ath-Thûr/52:35]

Maksudnya, keadaan manusia atau makhluk yang sudah ada ini tidak lepas dari salah satu dari tiga keadaan :

a. Mereka ada tanpa Pencipta. Ini tidak mungkin. Tidak ada akal sehat yang bisa menerima bahwa sesuatu itu ada tanpa ada yang membuatnya.

b. Mereka menciptakan diri mereka sendiri. Ini lebih tidak mungkin lagi. Karena bagaimana mungkin sesuatu yang awalnya tidak ada menciptakan sesuatu yang ada.

c. Inilah yang haq, yaitu Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan mereka, Dialah Sang Pencipta, Penguasa, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Seorang Arab Baduwi ditanya, “Apakah bukti tentang adanya Allâh Azza wa Jalla?” Dia menjawab, “Subhânallâh (Maha Suci Allâh)! 

Sesungguhnya kotoran onta menunjukkan adanya onta, bekas telapak kaki menunjukkan adanya perjalanan! Maka langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, lautan yang memiliki ombak-ombak, tidakkah hal itu menunjukkan adanya al-Lathîf (Allâh Yang Maha Baik) al-Khabîr (Maha Mengetahui).”

Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang hal ini, beliau menjawab, “Ada sebuah benteng yang kokoh, halus, tidak ada pintu dan jendela. 

Luarnya seperti perak putih, dalamnya seperti emas murni. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba temboknya terbelah, lalu keluarlah darinya seekor binatang yang dapat mendengar dan melihat, memiliki bentuk yang indah dan suara yang merdu.” 

Yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad adalah seekor ayam yang keluar dari telurnya. [Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr, surat al-Baqarah, ayat ke-21]

Sesungguhnya keyakinan adanya Sang Pencipta, Allâh Azza wa Jalla , merupakan fithrah makhluk. Oleh karena itulah Fir’aun, bahkan Iblis, juga meyakini hal ini. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan kaumnya yang mengingkari mu’jizat Nabi Musa Alaihissallam :

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ 

Dan mereka (Fir’aun dan kaumnya) mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. [an-Naml/27:14]

Oleh karena itu, tidaklah semata-mata seseorang meyakini adanya Allâh berarti dia adalah orang Islam atau beriman.

2. MENGENAL KEESAAN RUBUBIYAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Kita wajib meyakini keesaan rububiyah Allâh, yaitu bahwa hanya Allâh yang mencipta, memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh makhluk. Hanya Allâh Azza wa Jalla yang menghidupkan, mematikan, memberi rizqi, mendatangkan kebaikan, mendatangkan bencana. 

Tidak ada sekutu bagi Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh perkara di atas, baik malaikat, nabi, wali, jin, ruh, atau lainnya.

Rububiyah (mencipta, memiliki, dan mengatur/menguasai) seluruh alam semesta ini hanyalah bagi Allâh semata. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ 

Segala puji bagi Allah, Rabb (Pemilik, Penguasa) semesta alam. [al-Fâtihah/1:2]

Jenis tauhid ini tidak diingkari oleh orang-orang musyrik di zaman Rasûlullâh, bahkan mereka mengakuinya, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa ayat al-Qur’ân. Antara lain, firman Allâh Azza wa Jalla .

"Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka (orang-orang musyrik jahiliyah) menjawab, “Allâh”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” [Yunus/10: 31]

Demikian juga Iblis mengakui hal ini, dia mengakui bahwa Allâh-lah yang telah menciptakannya dari api. 

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ 

Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. [al-A’râf/7:12]

Oleh karena itulah, seseorang yang meyakini adanya Allâh dan keesaan kekuasaan-Nya belum bisa disebut orang Islam atau orang beriman, sampai dia mengimani keesaan uluhiyah Allâh, juga mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allâh, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.

3. MENGENAL KEESAAN ULUHIYAH ALLAH (HAK-NYA UNTUK DIIBADAHI).

Kita meyakini bahwa yang berhak diibadahi hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Tidak boleh memberikan ibadah kepada selain Allâh, walaupun kepada makhluk yang dekat kepada-Nya, seperti malaikat atau rasul Allâh Azza wa Jalla . Apalagi kepada makhluk yang derajatnya di bawah mereka, seperti: manusia, jin, binatang, pohon, batu, senjata, planet, bintang, ataupun lainnya. 

Tauhid inilah makna yang terkandung di dalam perkataan Lâ ilâha illa Allâh, karena maknanya adalah tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh. Dia Azza wa Jalla berfirman :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ 

Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ 

Katakanlah, “Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah,”Bahwasanya Ilahmu (yang kamu ibadahi) adalah Ilah Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)”. [al-Anbiyâ’/21:108]

Keimanan terhadap keesaan uluhiyah Allâh (hakNya untuk diibadahi) ini adalah inti dakwah seluruh rasul. Dan inilah yang diingkari oleh orang-orang musyrik dan kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ ۖ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ﴿٤﴾أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

"Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, “ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”. Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu Ilah Yang Satu saja. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. [Shad/38: 4-5]

Tujuan dari pengenalan keesaan uluhiyah Allâh ini adalah supaya kita mencintai Allâh, tunduk kepada-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, serta mengesakan ibadah hanya kepada-Nya.

Ibadah kepada Allâh yaitu merendahkan diri dan taat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh kecintaan, pengagungan, mengharapkan rahmat, dan takut terhadap siksa. Hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya. 

Adapun ruang lingkup ibadah yaitu segala yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla , baik berupa perkataan dan perbuataan, yang lahir maupun yang batin. 

Ibadah akan diterima oleh Allâh dengan dua syarat yaitu ikhlas dan mutâba’ah. Ikhlas yaitu: mencari ridha Allâh semata, sedangkan mutâba’ah, yaitu mengikuti Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad.

Oleh karena itu orang yang meyakini keesaan hak Allâh untuk diibadahi, dia akan mempersembahkan segala jenis ibadah hanya kepada-Nya semata. Di antara jenis-jenis ibadah adalah ketaatan yang mutlak dengan harap dan takut; kecintaan yang disertai ketundukan mutlak; do’a; niat di dalam beribadah (ikhlas); menyembelih binatang; takut; tawakal; dan lainnya.

4. MENGENAL NAMA-NAMA DAN SIFAT ALLAH

Yaitu mengimani dan menetapkan seluruh nama-nama Allâh dan sifat-sifat-Nya, yang tersebut di dalam Kitab al-Qur’ân dan Sunnah yang shahih, dengan tanpa menyerupakan dengan makhluk. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allâh asmâ-ul husnâ, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmâ-ul husnâ itu dan tinggalakanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [al-A’râf/7: 180]

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ 

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Yang Paling Tahu segala perkara, termasuk yang paling tahu tentang Allâh adalah Allah Azza wa Jalla sendiri. Allah Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ 

Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allâh?” [al-Baqarah/2: 140]

Demikian juga yang paling mengetahui tentang Allâh di antara semua makhluk adalah Rasul-Nya. Sehingga penjelasan para Rasul tentang Allâh Azza wa Jalla adalah haq. Sedangkan perkataan orang-orang kafir dan musyrik tentang Allâh hanyalah dugaan semata. Allâh berfirman :

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ﴿١٨٠﴾وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ﴿١٨١﴾ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ 

Maha suci Rabbmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas Para rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. [ash-Shâffât/37: 180-182]

Oleh karena itulah mengenal nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla hanyalah lewat jalan wahyu. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللهَ يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا

Sesungguhnya Allâh turun ke langit dunia 
Atau :

إِنَّ اللهَ يُرَى فِي الْقِيَامَةِ 

Sesungguhnya Allâh akan dilihat pada hari kiamat 

Dan yang serupa dengan hadits-hadits ini, “Kami beriman kepadanya dan membenarkannya, dengan tanpa (bertanya) bagaimana, tanpa (menetapkan) makna (yang lain), tanpa menolak sesuatu darinya. Dan kami mengetahui bahwa semua yang dibawa oleh Rasûlullâh n adalah haq, kami tidak menolak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kami tidak mensifati Allâh lebih dari yang Dia menyifati diri-Nya dengan tanpa batasan dan akhir. (Allâh Azza wa Jalla berfirman :)

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ 

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]

Dan kami mengatakan (tentang sifat Allâh) sebagaimana Dia berkata; Kami menyifati-Nya dengan semua sifat yang Allâh pergunakan untuk menyifati diri-Nya; Dan kami tidak melanggar batasan itu. Dan penyifatan dari orang-orang yang menyifati-Nya tidak sampai kepada hakikat-Nya. Kami beriman kepada al-Qur’ân semuanya, baik yang muhkam (maknanya jelas) dan mutasyabih (maknanya samar). 

Dan kami tidak akan menghilangkan dari-Nya satu sifat pun dari sifat-sifat-Nya karena kekejian yang dibuat-buat, kami tidak melanggar batas al-Qur’ân dan al-Hadîts. Dan kami tidak mengetahui hakekatnya keculai dengan membenarkan Rasûlullâh n dan menetapkan al-Qur’ân.” [Lum’atul I’tiqâd, hlm. 3]

Inilah bagian-bagian mengenal kepada Allâh dan beriman kepada-Nya. Semoga penjelasan ini menambah ilmu bagi kita semua, dan semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus. Aamiin

READ MORE

Is Allah the Name of God? - Allah is the name of the only God in Islam. Allah is a pre-Islamic name coming from the compound Arabic word Al-ilah which means the God, which is derived from al (the) ilah (deity).

The Arabic name for “God” is the word “Al-ilah.” It is a generic title for whatever god was considered the highest god. Different Arab tribes used “Allah” to refer to its personal high god.  “Allah” was being worshipped at the Kaa’ba in Mecca by Arabs prior to the time of Mohammed. It was formerly the name of the chief god among the numerous idols (360) in the Kaaba in Mecca before Mohammed made them into monotheists. Historians have shown that the moon god called “Hubal” was the god to whom Arabs prayed at the Kaa’ba and they used the name “Allah” when they prayed.

Today a Muslim is one who submits to the God Allah.

Islam means submission to (Allah), but originally it meant that strength which characterized a desert warrior who, even when faced with impossible odds, would fight to the death for his tribe. (Dr. M. Baravmann, The Spiritual Background of Early Islam, E. J. Brill, Leiden, 1972)

Many believe the word “Allah” was derived from the mid- eastern word “el” which in Ugaritic, Caananite and Hebrew can mean a true or false God. This is not the case, “The source of this (Allah) goes back to pre-Muslim times. Allah is not a common name meaning “God” (or a “god”), and the Muslim must use another word or form if he wishes to indicate any other than his own peculiar deity.” (Encyclopedia of Religion and Ethics (ed. Hastings), I:326.)

According to the Encyclopedia of Religion, Allah corresponded to the Babylonian god Baal, and Arabs knew of him long before Mohammed worshipped him as the supreme God. Before Islam the Arabs recognized many gods and goddesses, each tribe had their own deity. There were also nature deities. Allah was the god of the local Quarish tribe, which was Mohammed's tribe before he invented Islam to lead his people out of their polytheism. Allah was then known as the Moon God, who had 3 daughters who were viewed as intercessors for the people into Allah. Their names were Al-at, Al-uzza, and Al-Manat, which were three goddesses; the first two daughters of Allah had names which were feminine forms of Allah. Hubal was the chief God of the Kaaba among the other 360 deities. Hubal was the chief God of the Kaaba among the other 360 deities. Hubal was a statue likeness of a man whose body was made of red precious stones whose arms were made of gold. (Reference Islam George Braswell Jr.)

“Historians like Vaqqidi have said Allah was actually the chief of the 360 gods being worshipped in Arabia at the time Mohammed rose to prominence. Ibn Al-Kalbi gave 27 names of pre-Islamic deities...Interestingly, not many Muslims want to accept that Allah was already being worshipped at the Ka'ba in Mecca by Arab pagans before Mohammed came. Some Muslims become angry when they are confronted with this fact. But history is not on their side. Pre-Islamic literature has proved this.” (G. J. O. Moshay, Who Is This Allah? (Dorchester House, Bucks, UK, 1994), pg. 138).

History has shown Mecca and the holy stone al-Kaaba were holy sites for pre-Islamic pagan Arabs. The Kaaba in Mecca was formerly named Beit-Allah meaning House of Allah. We are told it was first built in heaven. This is in contradistinction to what Moses was instructed to build, something overlooked by the Muslims in their reading of the Bible.

The Koran tells us that Mohammed drove the other idols away; he made one God now the only god and he was its messenger. He kept the Kaaba as a holy, sacred place and confirmed that the black stone had the power to take away man's sins. He obligated every believer to make a pilgrimage to the stone at least once in his lifetime. (Sura 22:26-37) No Old Testament saint ever had a pilgrimage to the Kaaba and kissed its black stone despite stories that Abraham and Ishmael restored it.

Mohammed used the name Allah which was formerly the name of a specific idol without ever distinguishing it from the idol the Meccan’s were already worshipping. This was a modification of their former worship but never a complete break. He never did say for the people to stop their worship of the wrong Allah, for the right one. It can still be monotheism and not be the God of the Bible

Al-Lat which is a T at the end of the name of Allah, was represented by a square stone whose major sanctuary was in the city of Taif. In the sanctuary was a black stone in the town of Qudayd between Mecca and Medina. She was the goddess of fate, a female counterpart of Allah. Al-uzza was the goddess of east Mecca. It has been said there were human sacrifices made to her and Islamic tradition tells of a story of Mohammed’s grandfather almost sacrificing his son the father of Mohammed to her. What prevented this was his seeking counsel from a fortune teller which told him to ransom his son with one hundred camels. Muslims look to this as the will of Allah to bring Mohammed into existence. (Reference Muhammad husain haykal, Hayat mohammed)

“The name Allah, as the Qur'an itself is witness, was well known in pre-Islamic Arabia. Indeed, both it and its feminine form, Allat, are found not infrequently among the theophorous names in inscriptions from North Africa.” (Arthur Jeffrey, ed., Islam: Muhammad and His Religion (1958), p. 85.)

The literal name of Mohammed's father in Arabic is Abd Allah. His uncle's name Obred Allah. These names show the devotion of Mohammed's families pagan roots, and also prove that Allah was part of a polytheistic system of worship before Allah was made the supreme and only god from the other God's. This should be proof to the pre- Islamic root of the name of Allah to the Muslim. Remember they were pagans who used this name. He kept his family name above all the other names. Mohammad had good intentions in removing the people from their polytheistic worship however he did not go far enough in his reform.

Mecca was the place where the idol Allah was located, so the people would face in that direction when they prayed. Prior to Islam the people would pray 5 times a day facing Mecca (The Encyclopedia of Islam p.303) Prior to Islam's beginning each Arab tribe used Allah to refer to its own particular high god. This is why Hubal, the Moon god, (known by other names) was the central focus of prayer at the Kaabah and people prayed to Hubal and they used the name Allah. The crescent moon was the symbol of the moon God Allah (Hubal) and is still used as a symbol of Islam today (although they have changed the meaning to be -from Mecca to the moon Islam will spread). Today there is hardly a Muslim that knows its ancient origin. History records it as an ancient pagan fertility symbol that is found throughout the Middle East. Mohammed smashed all the idols that led the people into idolatry but the black stone was kept which Muslims continue to kiss today. This was another practice that preceded Mohammad.

Mohammed made Allah into a single being who, unlike the Bible's God who is called Father, has no Son. Because of this portrayal, there is no fellowship or love among the godhead before God created man. Creation and man therefore become a necessity for God to express His attributes or characteristic's. This God has never revealed Himself to man but revealed only His will. This God is so removed from man that it is impossible to know him in a personal way, he relates to man only through his will and law. It is a religion of obedience no different than any other.

To the Muslim God is strictly singular, all seeing, all hearing, almighty, He is the first and the last. But what differs is that he has no Son and he cannot be called Father who relates to His son in a unique way (Son and Father does not mean offspring in historic Christianity).

Of the 99 names of God in Islam, not one is “Father” or has a personal connotation. The difference is not to be overlooked. The God of the Bible is personal and wants an ongoing friendship with each of us. Islam portrays God as one who expects us to do our religious duty or He angers. There are rules to be obeyed and one can only please him but not know him personally. No Muslim would ever consider being able to have a personal relationship with him, by talking to him, and loving him. Jesus instead taught Christians to pray “our Father in heaven” (Matthew 6:9). Throughout the Old Testament God was real to the prophets who had him personally speak to them and they to him. “Have we not all one Father? Has not one God created us? Why do we deal treacherously with one another by profaning the covenant of the fathers?” (Mal 2:10)

In Islam some state that if one memorizes the 99 names of Allah and repeats them he will get into paradise because they give the believer power, making them conscious of God. Neither the Koran nor the Hadith speak of these names in such a way. The Suras in the Koran begin with “In the name of Allah, most gracious, most merciful. Yet in practice Islam's god is portrayed as stern, harsh, having compassion on those who do right and deals severely with those who do not.

To a Muslim the God of the Bible who is described as triune is offensive and pagan, reminding them of what Mohammed destroyed. This is recorded in their Qu'ran. They interpret this as 3 separate Gods and not a unified one. “ They are unbelievers who say God is a third of three. No God is there but one God.” While Muslims affirm Jesus' virgin conception, they deny He had any pre-existence that would imply He is God. To call a prophet God is the ultimate in blasphemy to them. “ Verily God will not forgive the union of other gods with himself.” This is a true statement; however if Jesus is who He said He is, the true God, then it is they who are in union with another than the true God.

Muslims claim that the name Allah can be found in the Bible. This is no different than what the Jehovah's Witnesses do for the name Jehovah. Allah is not called Yahweh once in the Koran but neither is Yahweh called Allah in the Bible. So they can't be the same God. Neither is the word Elohim which is applied to Yahweh over 2,500 times in the Bible used in the Koran. Neither is he called I Am, which He said to Moses would be His name forever.

The God of the Bible identifies himself as the God of Abraham, Isaac and Jacob. Jacobs name is later changed to the name Israel, being the father of the 12 tribes of Israel. The God of the Bible calls Jerusalem the city of David and that the Messiah would descend from his lineage. Neither does the God of the Bible does not mention Mecca or Medina but instead Jerusalem 800 times. Yet Jerusalem is not mentioned in the Koran, which the Muslim claims as there own.

The God in the Bible is called the God of the Jews, an impossibility with Allah. They are called his chosen people, but they are not Allah's chosen. Allah commands the Muslim to not take the Jews or Christians as friends, Sura.5:51 disdains the Jews. Mohammed said, “The last hour will not come before the Muslims fight the Jews, and the Muslims kill them.” (Mishkat Al Masabih Sh.M. Ashraf pp.147, 721, 810-11, 1130). So how could Israel inherit the land or any of God's promises from Allah, if he is their God. Clearly he is not the same God of the Bible.

Muslims trying to prove their position from the Bible point to the Old Testament with the word alleluyah, interpreting the first portion of the word alle as Allah. The word [H]alleluyah is not a compound Hebrew word. It is not two words but a singular word meaning praise to Yahweh. (alle- praise, lu-to, yah-Yaweh). The beginning of the word is Hallel meaning praise. This has nothing to do with an Allah, and the last syllable of the word is a reference to Yahweh the God of the Bible, this is hardly any evidence for their assertions. They are also confusing Aramaic with Arabic. This is not unusual, as Muslims will often take words and meanings set in another language and culture and adopt them for proof of their own book or religion.

This word play only gets more ludicrous as they try to have Jesus saying the name of their God. When Jesus was on the cross they claim when he cried out Eli, Eli it was really is Allah, Allah. The New Testament was written in Greek, however it points us to him speaking the Aramaic language, not Arabic. Jesus was quoting Psalm 22:1 which read in full says, Eli, Eli Sabbathani “My God, My God why have you forsaken me.” What makes even less sense for this position is the fact that they don't believe that it was Jesus on the cross in the first place, but that another took His place. Some think it was Judas; so it was Judas crying out Allah, Allah?

The first Arabic translation of the Bible was made about the 9th century. Nowhere is the name of Allah found in the Old or New Testament. When Islam became the dominant political force people were coerced to use the name Allah for God or suffer the consequences from the hands of militant Muslims. Because of Islam's dominance Allah became the common name of God. The translators of the Bible gave in to the religious pressures and substituted Allah for Yahweh in the Arabic Bibles, but this is not the name of the God of the Hebrews, nor of the creator who made heaven and earth because of its source in paganism. His nature and attributes have only a few basic similarities and many more differences. And the most important point is that all through the Qu'ran it says Allah has no son.

READ MORE

Ketika Rezeki yang Tertahan ... ?!?! - Allah SWT menciptakan semua makhluk telah sempurna dengan pembagian rezekinya. Tidak ada satu pun yang akan ditelantarkan-Nya, termasuk kita. Yang dibutuhkan adalah mau atau tidak kita mencarinya. Yang lebih tinggi lagi, benar atau tidak cara mendapatkannya.

Rezeki di sini tentu bukan sekadar uang. Ilmu, kesehatan, ketenteraman jiwa, pasangan hidup, keturunan, nama baik, persaudaraan, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk pula rezeki, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding uang dan lainnya.

Walau demikian, ada banyak orang yang dipusingkan oleh masalah pembagian rezeki ini. Dia merasa rezekinya sedang seret, padahal sudah berusaha maksimal mencarinya.

Ada banyak penyebab, mungkin cara mencarinya yang kurang profesional, kurang serius mengusahakannya, atau ada kondisi yang menyebabkan Allah Azza wa Jalla menahan rezeki yang bersangkutan. Setidaknya ada lima hal yang menghalangi aliran rezeki.

Pertama, lepasnya ketawakalan dari hati. Kita menggantungkan diri kepada selain Allah. Kita berusaha, namun usaha yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan-Nya. Padahal, Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq [63]: 3).

Kedua, karena dosa. Dosa adalah penghalang datangnya rezeki. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya.” (HR Ahmad).

Ketiga, bermaksiat saat mencari nafkah. Apakah pekerjaan kita dihalalkan agama? Kecurangan dalam mencari nafkah, entah itu korupsi, manipulasi, akan membuat rezeki kita tidak berkah.

Mungkin uang kita dapat, namun berkah dari uang tersebut telah hilang. Apa ciri rezeki yang tidak berkah? Mudah menguap untuk hal sia-sia dan tidak membawa ketenangan, sulit dipakai untuk taat kepada Allah serta membawa penyakit. Bila kita telanjur melakukannya, segera bertobat dan kembalikan harta tersebut kepada yang berhak menerimanya.

Keempat, pekerjaan yang melalaikan kita dari mengingat Allah. Banyak aktivitas kita yang membuat hubungan kita dengan Allah makin menjauh. Kita disibukkan oleh kerja, sehingga lupa shalat, lupa membaca Alquran, lupa mendidik keluarga, lupa menuntut ilmu agama, lupa menjalankan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Akibatnya, pekerjaan kita tidak berkah.

Jika sudah demikian, jangan heran bila rezeki kita akan tersumbat. Idealnya, semua pekerjaan harus membuat kita semakin dekat pada Allah. Sibuk boleh, namun jangan sampai hak-hak Allah kita abaikan. Saudaraku, bencana sesungguhnya bukanlah bencana alam yang menimpa orang lain. Bencana sesungguhnya adalah saat kita semakin jauh dari Allah.

Kelima, enggan bersedekah. Siapa pun yang pelit, niscaya hidupnya akan sempit, rezekinya mampet. Sebaliknya, sedekah adalah penolak bala, penyubur kebaikan, serta pelipat ganda rezeki. Sedekah bagaikan sebutir benih menumbuhkan tujuh butir, yang pada tiap-tiap butir itu terurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. (QS al- Baqarah [2]: 261). Wallahu a’lam. ( Republika.co.id )

READ MORE

Avoiding the Satanic ‘Intellect’. This was a piece of advice from Hamad bin ‘Atiq an-Najdi to Muslims in general, written around two hundred years ago. It finds itself very relevant today.

“…And it should be known that intellect (‘aql) is of three types:

  • Natural intellect
  • Faith-based intellect obtained from the Prophetic light
  • Satanic, hypocritical ‘intellect’

And the possessors of this last type think they are something special, and this type of intellect is found among many people – most of them, in fact. It is the essence of ruin and the fruit of hypocrisy, as its possessors think that intellect is to please everyone and to not go against their interests and desires, as well as to gain their friendship. They say that the best thing for you is to be part of the people and don’t cause them to hate you.

This is the corruption and ruin of the soul, and this is due to four things:

The first is that the one who does this has gained the pleasure of people by angering Allah, and the people are more important in his eyes than Allah. Whoever gains the pleasure of people by angering Allah will end up with the anger of both the people and Allah. It was narrated that Allah Said: “When I am angered, My Curse reaches the seventh generation of descendants.”

So, if the one who is able to enjoin the good and prevent the bad abandons doing so, he will bring about Allah’s Curse that will reach the seventh generation of his progeny, and this is proven by the verse: {“The disbelievers from the Children of Isra’il were cursed by the tongue of Dawud and ‘Isa bin Maryam. This is because they were rebellious and would transgress…”} [al-Ma'idah; 78]

So, it is clear that this compromising person has ruined himself through what he thought would help him.

Second, it is inevitable that Allah will open a door of humiliation and disgrace for the one who compromises from where he sought honor. And some of the Salaf said: “Whoever leaves off enjoining good and preventing evil out of his fear of people, the respect and obedience people had for him will be removed.” So, if he orders his son or servant to do something for him, they will belittle his status. Just like he belittled the rights of Allah, Allah will belittle and humiliate him: {“…they forgot Allah. So, He forgot them…”} [at-Tawbah; 67]

Third, if some sort of punishment is sent down, the one who compromises will be one of its targets, as in the verse: {“And beware of a trial that won’t only afflict the wrongdoers among you…”} [al-Anfal; 25]

…And Ibn Abi ad-Dunya reported from Wahb bin Munabbih that he said: “When Dawud made a mistake, he said: “My Lord, Forgive me!” So, Allah Said: “I have Forgiven you and placed your sin on the Children of Isra’il.” Dawud asked: “Why, O Lord? How can this be when You are the Just who oppresses nobody? I fall into error and You place the sin on others?” He Said: “When you did this error, they didn’t criticize you for it.”

And Ibn Abi ad-Dunya reported that Allah revealed to Yusha’ bin Nun (Joshua): “I will destroy 40,000 of the best of your people and 60,000 of their worst.” He asked: “My Lord, I can understand the worst of them being destroyed. Why destroy the best of them?” He Said: “They didn’t become angry for My Anger, and they would give the worst ones food and drink.”

Ibn ‘Abd al-Barr and others reported that Allah commanded one of the Angels to destroy a town. So, he asked: “My Lord, it has such and such a person who is a zahid who worships You constantly!” Allah Said: “Begin with him, and let me hear his voice. His face never once became red for My sake.”

So, the only way out when punishments descend is to be from those who enjoin the good and prevent the wrong, as Allah Said: {“So, when they forgot what they were reminded of, We saved those who would forbid what was bad…”} [al-A'raf; 165]

Fourth, this compromising person who seeks the pleasure of people is worse than the adulterer, the thief, and the consumer of alcohol. Ibn al-Qayyim said:

“The Religion is not just leaving off outer prohibitions. Rather, it is to fulfill what Allah Loves along with this. Most religious people today don’t do this except when it comes to things that the majority of people accept and agree with them in. As for Jihad, enjoining good and preventing evil, giving advice for the sake of Allah and His Messenger to His worshipers, giving aid and victory to Allah and His Messenger and Book and Religion – these obligations don’t even occur to them, let alone evoke a desire on their part to carry them out, let alone be carried them out by them!

The lowest of people in the Religion and the worst of them with Allah are those who abandon these obligations, even if he practices the most zuhd from everything in this world. It is rare to find from them one whose face becomes red for the sake of Allah, and who becomes angry due to His limits being violated, and who gives all he has to help his religion. Those who fall into major sins are better with Allah than these people.”

So, imagine that someone fasts all day, prays all night, abstains from all worldly pleasures, and despite this never becomes angry or has his face reddened for Allah’s sake and doesn’t enjoin good and prevent evil – such a man is the most hated of people to Allah and the least of them in religiousness, and those who fall into major sins are better with Allah than such a person.

And a trustworthy person told me that Shaykh al-Islam, the leader of the da’wah in Najd (Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab), once said: “I saw some people sitting in the mosque with their Qur’ans, reciting and weeping. However, they didn’t enjoin the good if they saw it and they didn’t prevent evil if they saw it. I saw people sitting near them saying: “These are the source of benefit,” and I said: “These are the source of disgrace.” Someone heard me and said: “I can’t say they are a source of disgrace!” So, I replied to him: “They are blind and mute.”

And this is supported by what some of the Salaf said: “The one who is silent about the truth is a silent devil, while the one who speaks falsehood is a speaking devil.”

So, if the one who compromises by remaining silent comes to know that he is from the most hated of people to Allah even if he thinks he is good, he would speak openly. And if the one who seeks the approval and pleasure of people came to know that by not speaking out against their evil that those who fall into major sins are better with Allah than him – even if he assumes himself to be religious – he would repent from his compromise and would retreat from it. And if the one who is stingy with his tongue from openly proclaiming the command of Allah came to know that he is a silent devil even if he fasts, prays, and is a zahid, he would do all that he could to avoid being similar to Satan.

O Allah, I seek refuge with You from every action that angers the Merciful, and from every trait that makes us resemble Satan or compromise on our religion with the people of doubts, hypocrisy, and kufr.

And may peace and blessings be on Muhammad, his Household, and Companions.”

['ad-Durar as-Saniyyah'; 8/75-79 / muslim1st.com ]



READ MORE

4. Hikmah Lanjut dari Dzikir: Qurb, Tenang, Fana, dan Ma'rifat. Kaum Sufi melaksanakan dzikir dengan begitu asyik dan khusyu'nya karena merasakan keni'matan, kelezatan dan kemanisan. Dengan berdzikir, mereka merasa begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatupun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (ma'rifat). Abu Sa'id Al-Harraz r.a. berkata: "Apabila Allah Ta'ala hendak mengangkat seorang hambanya menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu dzikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya 'babul qurb', kemudian diangkatnya ke Majlisul Uns (tenang bathin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi Tauhid, kemudian diangkat daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam 'darul fardaniyyah', dan dibukakanlah kepadanya 'Hijabul jalali wal'uzmati'. Apabila sampai pada 'jalali wal'uzmati', ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana."

Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah.

  • Kejauhan itu lupa hati.
  • Kedekatan itu ingat hati.
  • Kejauhan itu hijab (tertutup).
  • Kedekatan itu kasyaf (terbuka).
  • Hijab itu gelap, Kasyaf itu Nur.
  • Gelap itu jahil, Nur itu Ma'rifat.

Rasulullah SAW bersabda: "Firman Allah Ta'ala, aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik." (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari). "Guru Sufi berkata: "Hatimu sekarang bersama Tuhanmu dan Tuhanmu bersama engkau, tidak jauh dari engkau, Ia mendekatkan engkau kepadaNya, dan mengenalkan engkau denganNya."

Orang yang menjalankan Thariqat-dzikir secara sungguh- sungguh tidak mempunyai rasa khawatir dalam menjalani hidup, tidak waswas dalam menjalankan sesuatu kebenaran, dan tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Hati mereka tenang, jiwa mereka tenteram. Firman Allah SWT: "... (yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28). Dengan menjalankan Thariqat-dzikir dan latihan-latihan Thariqat, kaum Sufi merasakan kelezatan ibadah, merasakan makna- makna Qur'an yang mulia, dan Sunnah yang suci, yang belum tentu dapat dirasakan oleh orang-orang lainnya.

Sampai di tingkat tertentu orang yang ber-thariqat-dzikir merasakan seluruh alam dan dirinya hancur lebur masuk ke dalam Allah SWT. Pada saat ini orang tersebut berada dalam tingkat yang fana. Firman allah dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rahman ayat 26-27: "Semua yang ada akan fana binasa, yang kekal adalah Tuhan sendiri yang Besar dan Maha Mulia."

Dzikrullah itu dapat mengangkat seorang hamba yang mu'min dari bumi syahwat ke langit ma'rifat. Rasulullah SAW bersabda "Tidak ada seorangpun yang berkata Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dalam hatinya, kecuali Tuhan membukakan pintu langit sehingga ia bisa meninjau arasy." Guru Sufi mengatakan: "dalam asma yang tertinggi, orang dapat meningkat ke langit (mencapai martabat yang tinggi)." Dalam tingkat ma'rifat ini hamba Allah dapat melihat segala yang ajaib dan yang aneh-aneh dan segala rahasia yang besar dan kaifiat yang agung serta hakikat. Imam Ghazali berkata: "Ma'rifat itu berada di atas semua jalan dan wasilah yang penting dan besar. Yang demikian itu adalah wasilah "Al-Kasyafful al-Bathini' atau 'Wasilatul Ilham ar-Ruhi', yang membawa manusia kepada sifat-sifat yang baik, dan membersihkan hati serta menjauhkan diri dari cara berpikir orang-orang materialis." [ Abas Gozali ]

READ MORE

Syariat, Thariqat, dan Hakikat. Penulis menangkap ada suatu kesan bahwa bila orang sudah pada tingkat hakikat maka tidak perlu lagi dia mempedulikan syari'at. Lebih jauh lagi bahkan ada yang mempertentangkan syariat dengan hakikat, syari'at menyalahkan hakikat dan hakikat meremehkan syari'at. Pandangan ini penulis kira tidaklah benar.

Dalam Tasawwuf, hubungan antara syari'at, thariqat, dan hakikat itu sangat erat, satu kesatuan yang bisa dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan apalgi dipertentangkan. Thariqat atau jalan menuju Allah itu meliputi pekerjaan dzahir dan bathin. Pekerjaan dzahir disebut syari'at dan pekerjaan bathin disebut hakikat. Syari'at itu mempersembahkan ibadat kepada Tuhan dan hakikat itu memperoleh musyahadah dari padaNya.

Syari'at terikat dengan hakikat, dan sebaliknya hakikat terikat dengan Syari'at. Tiap-tiap pekerjaan syari'at yang tidak dikuatkan dengan hakikat tidak diterima dan tiap-tiap hakikat yang tidak dibuktikan dengan syari'at pun tidak diterima pula. Imam Al-Ghazali berkata: "Barang siapa mengambil syari'at saja tetapi tidak mau tahu tentang Hakikat, orang itu fasik. Barang siapa mengambil hakikat saja tetapi tidak melakukan syari'at maka dia itu adalah kafir zindiq. Sedangkan yang melakukan syari'at dan mengamalkan tasawwuf, inilah orang yang dinamakan ahli hakikat yang sesungguhnya." Riyadhah dan latihan-latihan tharikat tidak akan berfaedah dan tidak akan mendekatkan dirimu kepada Allah SWT selama perbuatanmu tidak sesuai dengan syari'at dan sejalan dengan Sunnah Rasul.

Hubungan syari'at-thariqat-hakikat bisa dianggap analog dengan islam-iman-ikhsan. Apabila Seorang hamba Allah hanya sibuk dengan ibadah secara dzahir maka ia berada dalam maqam islam atau maqam syari'at. Apabila amal ibadah itu disertai dengan hati yang bersih dan ikhlas serta bebas dari kejahatan maka orang itu berada pada maqam iman atau maqam tharikat. Apabila manusia itu beribadat semata karena Allah, seakan-akan ia melihat Allah dan ia yakin Allah melihatnya maka hamba Allah itu berada dalam maqam ikhsan atau maqam hakikat.

ooOoo

Tasawwuf dan Dunia. Anggapan umum tentang Tasawwuf adalah bahwa tasawwuf itu anti dunia dan mereka meninggalkan segala hal yang berbau dunia. Anggapan ini tidak seluruhnya benar. Kaum Sufi menjauhi sesuatu, termasuk dunia, yang menghalangi mereka berjalan menuju Allah. Sikap zuhud ini mereka pegang berdasarkan Firman Allah dalam Al- Qur'an Surat Al-Munafiquun ayat 8 yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi."

Akan tetapi apabila sesuatu, termasuk dunia, itu memperkuat ibadah mereka terhadap Allah, apalagi itu perintah Allah dan Rasulnya, merekapun akan mengambilnya. Sikap inipun dilandaskan pada Al-Quran dan Hadis seperti: "Kejarlah apa yang diberikan Tuhan untuk akhirat, tetapi janganlah engkau lupa akan nasibmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu, janganlah bercita-cita berbuat di atas muka bumi ini karena Allah tidak menyukai mereka yang berbuat kerusakan" (Q.S Al-Qosas 77), "Makan dan minumlah kamu dari rezki yang dikaruniakan Allah, dan janganlah kamu berlomba-lomba berbuat kerusakan di atas bumi ini" (Q.S. Al-Baqarah 60), dan sabda Nabi Muhammada SAW: "Bukanlah orang baik jika engkau tinggalkan dunia untuk akhirat atau sebaliknya meninggalkan akhirat untuk dunia. Hendaklah mencapai kedua-duanya karena dunia itu jalan ke akhirat dan jangan kamu bergantung kepada manusia" (Riwayat Ibn As-sakir).

Bahkan Ulama-ulama Sufi dari Thariqat-thariqat Syaziliyyah, Naqsyabandiyyah, dan Qadariyyah menganjurkan murid-muridnya untuk memakan makanan yang enak-enak, memakai pakaian yang bagus-bagus, tidur diatas kasur yang empuk, memiliki harta benda, dan sebagainya asal semuanya itu dapat mendekatkan muridnya kepada Allah. Ulama-ulama tasawwuf itu berkata: "Tidak mengapa mengikuti syahwat yang diperkenankan untuk diri kita, apabila ternyata dapat menguatkan ibadat seperti: tidak mengapa memakai pakaian yang bagus untuk melahirkan nikmat Tuhan. Tidak mengapa makan dan minum yang lezat-lezat untuk kepentingan kesehatan anggota badan bersyukur dan menjadi kuat panca indera." Ahli ma'rifat Syazili mengatakan "Makan dan minumlah kamu dari makanan yang baik-baik, minumlah minuman yang sedap, tidurlah di atas tempat tidur yang empuk, berpakaianlah dengan pakaian yang halus, dan perbanyaklah dzikir kepada Tuhanmu." Syeikh Bahauddin Naqsyabandi berkata: "Tiapa macam makanan harus baik dan beribadatpun harus baik pula". Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani berkata: "Harta benda itu adalah khadammu dan engkau khadam Allah. Maka hidupmu didunia ini harus menjadi manusia tauladan dan hidupmu di akhirat kelak menjadi orang yang mulia."

ooOoo

Tasawuf itu bukanlah ilmu atau amal yang dapat dibahas secara ilmiah atau filsafati karena tasawuf hanya dapat ditangkap oleh hati, dan bukan oleh akal yang mempunyai keterbatasan. Rahasia Tasawuf tidak dapat dinikmati dengan hanya mempelajari buku-buku atau mendengarkan ceramah-ceramah karena buku-buku dan ceramah- ceramah tersebut tidak dapat mengekspresikan peristiwa bathiniyyah yang terjadi dalam dunia tasawwuf secara sempurna dan akurat yang disebabkan oleh keterbatasan bahasa manusia. Hikmah tasawwuf ini hanya dapat dirasakan dengan melakukan rhiyadhah dan latihan-latihan thariqat dengan tekun dan khussyu' di bawah bimbingan Guru Sufi yang Mursyid. [ Abas Gozali ]


READ MORE

Sasaran Strategis Syaithan adalah Hati (Qalb). Hati merupakan inti dari manusia. Hatilah, dan bukan akal, yang menggerakkan seluruh anggota badan. Hati pulalah yang menghubungkan manusia dengan Khaliknya, Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Az-Zumar 17-18: "Bahwa Allah itu tidak melihat kepada rupamu, akan tetapi melihat kepada bathinmu." Rasulullah SAW bersabda: "Bahwa dalam badan anak Adam itu ada segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, baiklah seluruh badan anak Adam itu. Apabila gumpalan darah itu rusak, rusaklah seluruh badan anak Adam itu. Perhatikanlah, bahwa yang dimaksud itu adalah hati."

Peranan hati itu demikian penting karena didalamnya Allah Ta'ala menaruh Nur yang bersifat Al-Latifah (Kelembutan), Ar- Rabbaniyah (Ketuhanan), dan Ar-Rohaniyah (Kerohanian). Dengan Nur itulah manusia dapat memperoleh ma'rifat. Apabila manusia menyelam ke dalam dirinya dan terus menerus kembali kepada hatinya, terpancarlah baginya mata air ilmu yang disebut "Ilmu Laduniah". Al-Bazari berkata: "Dalam hati itu terdapat sifat 'Al- Latifah', 'Ar-Rabbaniyah', dan 'Ar-Rohaniyah' yang bersangkutan dengan tubuh manusia. Itulah hakikat insan dan itulah yang dapat mencapai arif, tempat Nur yang ditaruh Tuhan padanya." Sedangkan Abdul Qadir Al-Jaelani berucap: "Hati itu tempat ilmu hakikat karena 'latifatur Rabbaniyyah' yang mengatur bagi sekalian anggota badan. Hati itu alat penembus hakikat..."

Sadar sesadar-sadarnya akan pentingnya peranan hati ini dalam diri manusia, syaithanpun menyerang manusia dari sasaran strategis ini, hati. Syaitan menutupi hati manusia agar hati tersebut tidak dapat menerima Nur Illahi. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Jikalau tidak bahwa syaithan-syaithan itu menutupi hati anak Adam, sungguh orang-orang yang mu'min itu melihat kepada langit malakut dan buminya." Syaithan menutup hati manusia itu dengan mengembangkan 'nafsul-ammarah bissu' (nafsu yang membawa kejahatan) yang memang sudah ada pada diri manusia. Hawa- nafsu itu mendorong pada tindak kejahatan dan pemenuhan kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya. Para guru Tasawwuf mengatakan bahwa syaithan memasuki hati dalam badan manusia melalui sembilan lubang ya'ni kedua mata, kedua lubang telinga, kedua lubang hidung, lubang mulut, dan kedua lubang kemaluan.

Hati manusiapun menjadi buta. Abdul Qadir Al-Jaelani mengatakan bahwa penyebab yang membutakan hati itu adalah diantaranya jahil atau tidak sefaham tentang hakikat perintah Tuhan. Manusia menjadi jahil apabila jiwanya sudah dikuasai oleh sifat jiwa zalim, yang ditanamkan oleh syaithan lewat hawa nafsu manusia, seperti: syirik, zinna, takabur, irihati, dengki, kikir, melihat diri lebih utama, suka membuka rahasia orang lain, suka membawa berita adu domba, bohong, dusta, dan semacamnya yang dapat menjatuhkan manusia ke dalam lembah kehancuran dan kehinaan.

Butanya hati adalah sesungguh-sungguhnya buta manusia. Demikian Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Haj ayat 46 berbunyi: "... Karena sesungguhnya yang disebut buta itu bukanlah buta matanya, melainkan buta hatinya yang letaknya di dalam dada." Sifat jiwa yang zalim yang menyebabkan butanya hati tersebut adalah suatu penyakit yang apabila tidak segera diobati akan berakselerasi atau beranak-pinak. Hal ini ditandaskan oleh Allah SWT dalam FirmanNya di dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 9: "Dalam hati orang-orang kafir itu ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu, dan bagi mereka siksa yang pedih, karena mereka berdusta" dan Surat At-Taubah ayat 125: "Dan adapun bagi orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, maka bertambah kotorlah di atas kotorannya serta mereka meninggal dunia dalam keadaan kafir."

Demikian berbahayanya penyakit hati yang dihembuskan syaithan lewat hawa nafsu manusia ini sehingga Rasulullah SAW menyatakan jihad akbar melawan hawa nafsu ini. Hal ini dapat dilihat dari sabda-sabda beliau seperti: "Jihad yang paling utama adalah jihad seseorang untuk dirinya dan hawa nafsunya" (Bukhari dan Muslim), "Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang terletak diantara lambungmu", dan "Kami kembali dari jihad kecil ke jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu" (yang diucapkan sekembalinya dari Perang Badr yang akbar itu). Berjuang melawan musuh yang dzahir ada kesudahannya tetapi berjuang melawan syaithan dan hawa nafsu tidak ada habis-habisnya dan tidak berkesudahan hingga akhir hayat atau hari qiamat.[ Abas Gozali ]


READ MORE

Hikmah Dzikir Membersihkan Hati. Membersihkan hati dan menolak kehendak hawa nafsu yang keji itu fardlu 'ain hukumnya. Akan tetapi, membersihkan hati itu sangat sukar karena penyakit hati (illat-illat) itu tidak terlihat oleh mata tetapi dapat ditangkap dengan hati. Untuk menandingi illat-illat tersebut harus ada Nur yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera tetapi tertangkap oleh hati. Dengan Nur tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke terang benderang dengan izin Tuhannya.

Cara kaum Sufi membuang penyakit hati tersebut adalah dengan riyadhah dan latihan-latihan yang antara lain meliputi bertaubat, membersihkan Tauhid, taqarrub kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi, memperbanyak ibadah, qiyamul lail, tidak memakan/meminum makanan/minuman yang haram, tidak menghadiri tempat yang menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan yang haram, dan menahan diri dari ajakan syahwat. Riyadhah dan latihan khusus kaum Sufi untuk membersihkan hati adalah dengan DZIKRULLAH, berdzikir dengan menyebut nama Allah. Hal ini dilandaskan pada Firman-firman Allah SWT dalam Al-Qur'an seperti: "Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)- Ku." (Al-Baqarah 152), "Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak- banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang", "Adapun orang laki-laki yang banyak berdzikrullah, demikian juga orang-orang wanita, disedikan Allah baginya ampunan dan pahala yang besar" (Al-Ahzab 35), dan "(yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang" (Ar-Ra'd 28).

Landasan lain yang digunakan kaum Sufi adalah sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: "Bahwasanya hati itu itu kotor seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah Dzikrullah", "Bagi setiap sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah "DZIKRULLAH", dan "Jauhkanlah Syaithanmu itu dengan ucapan 'LAA ILAAHA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH', karena syaithan itu kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan unta salah seorang kamu sebab banyaknya penunggang dan banjirnya muatan diatasnya", "Dzikir kepada Allah SWT, jadi benteng dari godaan syaithan", dan "Allah berfirman 'LAA ILAAHA ILLALLAH adalah bentengKu. Barang siapa mengucapkannya, masuklah ia kedalam bentengKu. Dan barang siapa masuk ke dalam bentengku, maka amanlah ia daripada azabKu. (Hadist Qudsi)."

Pengertian umum dzikir adalah mengingat Allah; dengan demikian, setiap ibadah (baik yang fardlu maupun sunnat) seperti sholat, zakat, puasa, haji, baca Qur'an, da'wah, belajar, berusaha, dll yang dilakukan semata atas nama Allah atau dengan mengingat Allah adalah dzikir. Akan tetapi disamping melaksanakan hal-hal tersebut, kaum Sufi melaksanakan Thariqat-dzikir secara khusus yang merupakan cara pembersihan ruh pada sisi Allah (hati) secara Sufi, yaitu dengan menyebut LAILAA HA ILLALLAH atau ALLAH baik sendiri-sendiri maupun berjamaah dengan "cara tertentu."

Penulis tidak dapat menyampaikan metode Dzikrullah tersebut oleh karena hanya Guru Sufi yang mursyid dan murid-muridnya yang telah diberi "ijazah"lah yang berwenang mengajarkan metode Tha- riqat-dzikir tersebut. Yang dapat penulis sampaikan adalah bahwa para guru Sufi mengajar murid-muridnya mula-mula berdzikir dengan lidah (dzikir zahar, dzikir dengan suara keras), kemudian meningkat secara teratur kedzikir hati (dzikir khofi, dzikir yang tidak bersuara karena didalam hati) yang awalnya disengajakan kemudian menjadi kebiasaan, lantas meningkat lagi ke dzikir Sirri (dzikir di dalam hatinya hati). Hamba Allah yang sudah mampu berdzikir sirri ini tidak akan pernah terputus dzikirnya meskipun ia terlupa berdzikir. Sementara itu, sang guru pun membantu muridnya yang sedang dalam keadaan salik untuk menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya.

Ulama-ulama Sufi berkata: "Apabila murid-murid mengucapkan dzikir LAA ILAAHA ILLALLAH dengan memusatkan perhatiannya secara bulat kepadaNya, maka terbuka segala tingkat ajaran Thariqat dengan cepat, yang kadang-kadang terasa dalam tempo satu jam, yang tidak dapat dihasilkan dengan ucapan kalimat lain dalam tempo satu bulan atau lebih.

Dengan berdzikir yang dilakukan secara khussu' dengan bimbingan Guru Sufi yang mursyid, murid dapat membersihkan cermin hatinya dari sifat-sifat yang rendah secara dikit demi sedikit. Dalam masa itu, menyesallah sang murid atas dosa-dosa yang dilakukannya sehingga ia mencucurkan air mata dan berkehendak memperbaiki tingkah lakunya. Ia tidak rela untuk berada lagi dalam kelupaan dan kemaksiatan dengan mengikuti hawa nafsunya. Ia bertobat dan minta ampun dan mengikuti petunjuk Tuhannya. Maka cermin hatinyapun mulai dapat menerima dan memancarkan Nur Illahi yang kemudian merasuk keseluruh tubuhnya dan mempengaruhi segala ucapan, tingkah laku, dan perbuatannya dengan segala keutamaan. [ Abas Gozali ]


READ MORE

Tujuan Hidup dan Tugas Manusia serta Permusuhan Syaithan. Tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta sebagaimana difirmankan Allah dalam Al- Qur'an Surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 yang berbunyi "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" dan Surat Al-Baqarah ayat 21 yang mengatakan "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa". Beribadah berarti melaksanakan segala sesuatu (yang baik) dengan semata mengharap ridla Allah. Bertaqwa artinya menjalankan segala yang diperintahkan olehNya dan meninggalkan segala yang dilarang olehNya.

Selain itu, manusia diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Tugas kekhalifahan ini terpatri dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'..." Kepemimpinan itu dimulai dengan memimpin diri (hawa nafsu)nya sendiri, keluarga, dan kemudian berkembang ke memimpin lingkungan yang lebih luas.

Kepercayaan Allah terhadap manusia ini diprotes oleh baik malaikat maupun iblis, dengan alasan yang berbeda. Malaikat protes karena melihat manusia suka saling berbunuhan; sedangkan, iblis protes karena merasa dirinya yang dibuat dari api itu lebih tinggi derajatnya dari pada manusia yang dibuat dari tanah. Setelah Allah menjelaskan, malaikat mengikuti perintah Allah dan mengakui kekhalifahan manusia, tetapi iblis tetap membangkang. Hal ini terlihat dari dialog antara Allah dengan malaikat dan iblis yang terdapat dalam Al-Qur'an.

"...... Mereka (malaikat) berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah: 30).

"Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: 'Sujudlah kamu semua kepada Adam', lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?'". (Q.S. Al- Israa': 61).

Sedangkan syaithanpun tetap bersikukuh untuk ingkar terhadap perintah Allah ini meskipun diancam dengan Neraka Jahannam. Akan tetapi syaithan minta 'privilege' kepada Allah SWT untuk dapat hidup terus hingga Hari Qiamat dan diberi ijin untuk membujuk manusia mengikuti jalan sesatnya. Allah mengijinkan permintaan ini. Peristiwa ini diceritakan dalam Al-Qur'an Surat Al- Israa' ayat:62-65:

"Dia (iblis) berkata: 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar- benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil'."

"Tuhan berfirman: 'pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup."

"Dan hasunglah (bawalah) siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh Syaithan kepada mereka melainkan tipuan belaka."
"Sesungguhnya hamba-hamba Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga".

Maka syaithanpun bersumpah akan menyesatkan manusia dengan cara apapun dan dari jalan manapun. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Quran Surat An-Nisaa'ayat 118-119 yang berbunyi: "... dan syaithan itu mengatakan: 'Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya), dan saya akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan- angan kosong mereka, ..." dan Surat Al-A'raaf ayat 16-17 yang berbunyi: "Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta'at)." [ Abas Gozali ]

READ MORE

Belajar Mencari Hikmah. Pada postingan sebelumnya, telah dikutipkan surat Aali Imraan/3:31 yang terjemahannya sebagai berikut, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah.”

Dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak bisa membedakan antara kata “mengikuti” dan “meniru”. Yang diperintahkan kepada umat manusia adalah “mengikuti” atau “ittiba‘”, bukan meniru. Hal ini jelas, karena manusia bukanlah hewan. Manusia adalah sebuah kepribadian yang bisa tumbuh dan berkembang. Manusia adalah kepribadian yang dapat tumbuh dewasa. Mula-mula manusia tumbuh menjadi “kanak-kanak” yang sifatnya hanya meniru. Ia berusaha meniru perilaku di lingkungannya. Dalam bahasa agama, ia dikatakan tumbuh secara “taqlid”.

Mengapa peniruan oleh kanak-kanak ini disebut taqlid? Karena tahap pemikiran kanak-kanak belum berkembang dengan baik. Sedangkan meniru adalah tahap pertama dalam proses pendewasaan pribadinya. Kanak-kanak ingin melakukan apa saja yang dilihatnya. Ia belum bisa mengerti alasan mengapa perbuatan tertentu dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Seandainya kanak-kanak itu bisa berjanggut, maka ia akan memelihara janggutnya bila orang-orang di sekitarnya berjanggut. Contoh yang paling konkret dalam bertaklid adalah “merokok”. Perbuatan merokok yang dilakukan oleh para remaja adalah produk dari taklid. Akhirnya, perbuatan ini menjadi kebiasaan sampai dewasa dan tua, mungkin seumur hidupnya.

Banyak sekali perbuatan agamis kita ini juga hasil dari taklid ketika kita masih kecil atau ketika kita bersentuhan pertama kali dengan ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini kita mengaji Al-Quran dan Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau “justifikasi” bagi kepercayaan atau perbuatan yang telah kita lakukan. Sebaliknya, kita ini jarang sekali yang menelaah Al Quran dan Al Hadis untuk melahirkan suatu produk yang berupa perbuatan etika (sopan-santun), estetika (keindahan), dan spiritual (semangat hidup) yang unggul. Semenjak mandegnya kemunculan tokoh-tokoh besar Islam 1.000 tahun yang lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada mereka.

Perbedaan-perbedaan yang muncul dari sikap taklid ini tidak menghasilkan rahmat bagi umat Islam. Bahkan sering perbedaan ini menjadi bencana atau mala petaka bagi umat. Mengapa demikian? Karena perbedaan itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang tumbuh dari peniruan, akan melahirkan “claim-claim” kebenaran. Banyak orang yang beranggapan bahwa apa yang ditirunya (bukan diikutinya, sekali lagi bukan diikutinya) sebagai yang paling benar. Akhirnya, orang berebut benar sendiri. Orang lain yang tidak sepaham atau seperti apa yang ditirunya dianggap berada dalam jalan yang salah. Ia merasa telah berada di atas dalil yang benar; padahal dalil tadi hanyalah intepretasi atau paham mursyid, gurunya.

Nah, tasawuf mengajak kita untuk beramal dengan arif. Tasawuf mengajak kita untuk mencari hikmah Allah. Tak ada kampus atau sekolahan di dunia ini yang memberikan pelajaran hikmah atau “wisdom”. Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, karena itu marilah kita cari, dan di mana pun ia berada harus kita temukan, dan kita ambil. Kitasusuri melalui jalur syariat, kita gunakan cara (tarekat) untuk menemukannya. Lalu kita pahami hakikatnya, dan lahirlah hikmah. Dengan hikmah yang diberikan kepada kita maka kita memperoleh kebajikan yang banyak. Akhirnya, dada kita terasa lapang. Dan, lapang dada adalah sarana untuk mendapatkan hikmah.

Surat Al Baqarah/2:269,

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan barangsiapa yang menerima hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Tak ada yang dapat memahami pelajaran kecuali kelompok albab.”

Kata “khairan katsiira” pada ayat di atas sebenarnya tidak cukup diterjemahkan dengan “kebajikan yang banyak”. Makna “khair” yang lain adalah sesuatu yang sangat baik, rahmat, keistimewaan, keuntungan, dan kesejahteraan. Sehingga proses untuk mencapai status “Hamba-Tuhan” atau “Manunggaling kawula-Gusti” adalah proses pencarian hikmah. Dan seperti yang telah saya jelaskan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya, kalimat “siapa yang dikehendaki-Nya” tidak berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang. Arti yang sebenarnya kalimat tersebut adalah Dia menghendaki siapa yang menghendaki-Nya. Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad menjadi nabi, bukan karena mereka semata-mata dikehendaki menjadi nabi; tetapi mereka adalah orang-orang yang telah berjuang keras mencari-Nya.

Kedua ayat tersebut, yaitu 3:31 dan 2:269 merupakan ayat yang saling melengkapi untuk memahami tasawuf. Pada 3:31 yang ditekankan adalah kecintaan atau “mahabbah” dari Allah kepada hamba-Nya yang sungguh-sungguh mencintai-Nya. Jika Allah mencintai hamba-Nya maka ditutupinya semua dosa hamba-Nya. Jika Allah menutupi segala dosa hamba-Nya tidak berarti dosa itu dihapus seperti kita menghapus papan tulis yang kotor, tetapi hamba tersebut menerima hikmah dari ssi-Nya. Dengan hikmah tersebut hamba dapat bertindak atau beramal yang mendatangkan keuntungan yang besar. Sehingga dosa atau kerugian yang ada itu tertutupi atau terlunasi.

Jika ujung ayat 3:31 berbunyi “Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, maka ujung ayat 2:269 adalah “ Tak ada yang dapat memahami pelajaran atau ayat-ayat Tuhan, kecuali kaum albab. Kaum albab adalah mereka yang mampu menyatukan dada dan kepala, hati dan otak, atau perasaan dan nalarnya. Karena itu mereka layak menerima hikmah. Sedangkan pengampun dan penyayang adalah sifat asli Tuhan. Artinya, Tuhan senantiasa merespon hamba-Nya yang betul-betul memohon ampun dan kasih-sayang-Nya, yang dalam ayat di atas disebutkan sebagai “mencintai Tuhan” yang dibuktikan dengan cara berittiba‘ atau mengikuti Rasul s.a.w.

Dalam QS 3:32 disebutkan bahwa mengikuti Rasul itu harus diwujudkan dengan tindakan menaati atau mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun, kebanyakan orang memiliki pengertian yang salah tentang kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah sering disamakan dengan Al Quran, sedangkan Rasul disamakan dengan Al Hadis. Allah Yang Maha Hidup dan Maha Besar itu dikecilkan menjadi sekadar sebuah Kitab Suci. Inilah kesalahan yang sangat fatal.

Allah adalah Allah! Allah bukanlah Taurat, Zabur, Injil, atau Al Quran. Semua kitab suci hanyalah sebagian kecil dari kalam-Nya. Seandainya lautan itu dijadikan tinta dan pohon-pohon di muka bumi ini dijadikan pena, maka telah keringlah tinta itu sebelum habis kalam Tuhan. Kalam-Nya yang ditulis dalam kitab-kitab itu hanyalah miniatur dari kebenaran Ilahi. Karena kitab suci itu miniatur dari kalam-Nya maka diperlukan pemahaman pesan-pesan-Nya. Kalau hanya sekadar membaca kulitnya, selamanya tak akan pernah mengerti isi kitab suci tersebut.

Surat Al Kahfi/18:109 menyebutkan,

“Qul lau kaana l-bahru midaadal li kalimaati rabbii lanafida l-bahru qabla antanfada kalimaatu rabbii wa lau ji’naa bi mitslihii madadaa.”

“Katakanlah, seandainya air laut itu sebagai tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya air laut itu kering sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis dituliskan; bahkan jika ditambahkan sebanyak itu.”

Jadi, jelaslah bahwa kalam Allah itu tak terhingga. Karena kalam Allah itu seluas ilmu-Nya. Dan, keluasan Allah di banyak ayat dinyatakan dengan iringan kemahatahuan-Nya, yaitu “Innallaaha waasi-‘un ‘aliim”, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. Nah, belajar tasawuf sebenarnya mempelajari bagaimana caranya mencintai Allah dan mendekatkan diri ke maqam-Nya atau ke Hadirat-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Hidup, sedangkan kitab suci memuat kalam-Nya. Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan kitab suci bersifat kontekstual yang ada di dalam ruang dan waktu. Dan, Al Quran sebagai salah satu kitab suci, ia berkaitan dengan bahasa dan budaya Arab, lebih tepatnya Arab Qureisy.

Lalu bagaimana dengan Muhammad Rasul Allah? Rasul adalah manusia yang diutus untuk mengajarkan kalam Allah tersebut. Seperti yang dikatakan dalam firman-Nya dalam surat al Ghaasyiyah/88:21-22, “Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaithir”, Sampaikan ajaran (Tuhan) karena sesungguhnya engkau orang yang menyampaikan ajaran, dan engkau bukanlah orang yang ditugasi untuk menguasai mereka. Dan ayat senada ada pada QS 87:9, yaitu Nabi s.a.w. diperintah untuk menyampaikan ajaran, karena ajaran dari Tuhan itu bermanfaat bagi manusia.

Kemudian, dimana letak Al Hadis dalam pengajaran kalam Ilahi kepada umat manusia? Jadi, di dalam mengajarkan kalimat-kalimat Tuhan kepada manusia, Nabi memberikan contoh-contoh yang pas bagi yang beliau ajar. Nabi memberikan contoh sesuai dengan daya tangkap dan tingkat kecerdasan orang-orang yang beliau ajar. Karena itu hadis-hadis itu sifatnya kasuistis. Al Hadis adalah produk atau jawaban bagi masalah yang dihadapi oleh umat pada waktu kehidupan Rasul di bumi. Sehingga Al Hadis harus ditempatkan sebagai referensi dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi. Masalah dalam kehidupan manusia terus berkembang karena adanya perubahan lingkungan hidup manusia. Untuk memberikan solusi yang islami, umat Islam harus merujuk kepada Nabi, bukan meniru Nabi. Beliau telah memberikan “uswatun hasanah” atau contoh-contoh yang baik dalam memberikan solusi.

Masalah yang paling pokok bagi manusia adalah masalah psikologis, masalah yang terkait dengan faktor kejiwaan. Dapat dikatakan 95% problem manusia adalah problem yang muncul dari jiwanya. Dan, agama-agama diturunkan kepada manusia adalah untuk memberikan jawaban bagi jiwa manusia agar manusia menjadi terarah hidupnya dan dapat menemukan jalan hidupnya. Oleh karena problema manusia itu problema jiwanya, dan daya tangkap dan kecerdasan manusia itu berbeda-beda, maka untuk hal-hal yang bersifat sangat abstrak atau batiniah, oleh Nabi, diajarkan pada orang-orang tertentu saja. Dan sumber ajaran tasawuf kalau dirunut hingga akarnya akan dijumpai pada Abubakar dan Ali bin Abi thalib, dan penghulunya adalah Muhammad Rasulullah s.a.w.

Dengan demikian mematuhi Allah dan Rasul-Nya tidak sama dengan meniru yang tersurat dalam Al Quran dan Al Hadis. Meniru yang tersurat akan melahirkan sikap spekulatif. Dan, akhirnya mengabsolutkan yang relatif. Hal demikian ini disinggung dalam QS 62:5, Tuhan membuat permisalan bagi orang-orang yang berkewajiban mempelajari isi Taurat, tetapi mereka tidak mau mempelajarinya untuk menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya, maka mereka itu diumpamakan sebagai keledai yang mengangkut kitab-kitab yang tebal. Tentu saja kitab-kitab itu tidak bisa menjadi petunjuk bagi keledai. Kitab itu tak akan menjadi solusi bagi mereka. Bahkan kalau cuma dibawa secara fisik, cuma disentuh kulitnya, akan menjadi beban bagi dirinya. Hasil akhirnya adalah kezaliman. Dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang lalim, “Wallaahu laa yahdi l-qauma zh-zhaalimiin,” seperti pada ujung ayat tersebut.

Umat manusia tidak diperintah untuk meniru Rasul atau bertaklid kepada beliau, maka itu Allah memerintah Rasul untuk menyeru kepada jalan Tuhan itu dengan menggunakan al-hikmah dan pengajaran yang baik. Jadi, umat diperintah oleh Allah untuk berittiba‘, mengikuti ajaran beliau. Dan beliau serta orang-orang yang menjadi ahli waris ajaran beliau diperintah untuk menyeru ke jalan Tuhan dengan menggunakan hikmah dan peng-ajaran yang baik. Ayat selengkapnya pada QS 16:125 sebagai berikut,

“Ud-‘u ilaa sabiili rabbika bi l-hikmati wa l-mau-‘izhati l-hasanati wa jaadilhum bi l-latii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a‘lamu bi man dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a‘lamu bi l-muhtadiin.”

“Serulah mereka itu kepada jalan Tuhan engkau dengan menggunakan hikmah dan mauizhah yang baik. Dan berargumenlah dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Marilah kita rinci pengertian ayat tersebut. Kita pahami kandungannya.

Pertama, Nabi?dan orang-orang yang menjadi ahli waris kenabian?diperintah untuk mengajak manusia ke jalan Tuhan. Coba perhatikan makna kata “ajakan”. Jelas bahwa ajakan tidak sama dengan paksaan. Jika kita melihat tingkah laku umat sekarang ini tampak sekali adanya paksaan untuk mempraktikkan agama. Sedangkan Al Quran sendiri menyebut bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”. Lihat kembali surat ke-88 di atas. Betul-betul kehidupan beragama itu sebagai ajakan. Di sini harus bisa kita bedakan dengan pelarangan untuk berbuat kriminal. Untuk mencegah timbulnya kriminalitas atau kezaliman dalam hidup bernegara ini, pemerintah yang berkewajiban menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan warga berkewajiban mematuhinya. Nah, di sini kita harus memahami mana ayat-ayat yang menunjukkan Muhammad sebagai Nabi, dan Muhammad sebagai Kepala Negara/Pemerintahan.

Ke dua, diajak menuju jalan Tuhan. Lho, Tuhan punya jalan? Pengertian ayat itu adalah Tuhan telah menciptakan “sabiil” atau jalan bagi ciptaan dan ‘amr (kehendak)-Nya. Ciptaan adalah sesuatu yang menjadi ada melalui sebuah proses, sedangkan kehendak-Nya ada tanpa proses kejadian. Nah, proses kejadian dan kehendak itu mengikuti suatu jalan yang telah ditetapkan Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Dan, jalan yang telah ditentukan Tuhan itu banyak. Karena itu, kata “sabiil” mempunyai kata pluralnya yaitu “subul”. Jalan-jalan ini pada akhirnya menjadi satu di jalan yang besar yang disebut “shiraath”. Dengan demikian, ada satu shiraath yaitu “shiraath al-mustaqiim”. Dan petunjuk ke jalan yang lurus inilah yang kita minta dari Tuhan.

Ke tiga, cara mengajak kepada jalan Tuhan itu pun harus menggunakan “hikmah” atau “wisdom”. Tidak ada sekolahan atau tempat belajar untuk memperoleh hikmah. Karena hikmah bukan materi atau sesuatu yang tampak. Hikmah sendiri berasal dari kata “hukum”, karena itu hikmah merupakan esensi kebenaran yang tampak. Diceritakan di dalam Al Quran, surat Al Baqarah/2:251, bahwa Daud sebelum diangkat menjadi Nabi, memperoleh hikmah dari Tuhan. Sehingga beliau mampu mengalahkan Jalud, yang jauh lebih kuat, hanya dengan ketapel. Nah, ide menggunakan ketapel untuk membunuh Jalud itu namanya hikmah. Karena hikmah itu sebuah esensi sebuah kebenaran yang tampak, maka ia tidak bisa didentifikasi layaknya sebuah produk. Sebab jika sekarang Anda bertempur dengan orang yang menggunakan bedil, lalu Anda menggunakan ketapel, ya Anda akan kalah dan kemungkinan besar mati. Ketapel ditangan Anda bukan lagi hikmah namanya. Karena itu hikmah harus digali dan dicari. Tetapi hikmah tak akan kita dapatkan bila kita berlaku lalim, karena Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang bertindak zalim, aniaya, yang merugikan.

Ke empat, disamping menggunakan hikmah, orang harus kita ajak dengan menggunakan mau-izhah yang baik. Kata mau-izhah berasal dari “wa- ‘a-zha” yang artinya memberikan nasihat atau peringatan. Jadi, mau-izhah artinya pelajaran yang mengandung nasihat dan peringatan. Dan itu pun harus yang baik, yang tidak menyakitkan hati orang yang di ajak melalui jalan Tuhan. Lha, kalau mengajaknya itu bukan dengan cara yang baik, maka yang diajak akan ketakutan atau malah tidak percaya. Dengan hikmah ajakan itu akan tepat sasaran, dan dengan mau-izhah yang baik yang diajak akan masuk dengan puas.

Ke lima, berargumen dengan cara yang sebaik-baiknya. Kadang kala yang diajak itu minta penjelasan dan bahkan membantah. Dalam keadaan demikian, ajakan itu harus disertai argumen atau bantahan yang sebaik-baiknya. Bukan hanya cara yang baik, tetapi yang lebih baik. Sehingga yang diajak tidak tersinggung hatinya.

Ke enam, ajakan itu harus disertai kewaspadaan. Di ujung ayat tersebut dikatakan bahwa Tuhan lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya. Meskipun dalam ayat itu dinyatakan “Tuhan lebih mengetahui”, namun dalam praktik, orang yang mengajak kepada jalan Tuhan itu yang harus waspada. Dengan kewaspadaan itu amalan untuk mengajak kepada jalan Tuhan tidak menjadi sia-sia, yaitu kehilangan waktu dan tenaga. Waspada artinya cermat, siapa yang diajaknya berdebat atau berargumentasi itu. Dengan demikian tidak timbul debat kusir.

Ke tujuh, kewaspadaan itu harus diikuti dengan persuasi atau kesantunan. Jika sudah di-cermati bahwa orang yang diajak kepada jalan Tuhan itu sungguh-sunnguh orang yang mau mengikuti, maka selanjutnya adalah menyantuninya dengan memberikan binaan dan bimbingan. Dengan cara ini terbentuklah kehidupan umat yang harmonis, yang setara dalam pergaulan hidup, sama-sama berada di jalan Tuhan.

Nah, belajar tasawuf sebenarnya belajar untuk dapat mencari dan memperoleh hikmah dalam kehidupan ini. Dengan memperoleh hikmah, kita tidak lagi beribadah untuk mencari surga atau karena takut neraka. Karena hikmah itu sendiri merupakan kebajikan, rahmat, keuntungan, “advantage” yang banyak. Sekian pelajaran hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan kita lanjutkan bagian ke-3.


READ MORE
Allah (4) Fondation of Spiritual (21) Hakikat (3) Ibadah (3) Iblis (1) Kabah (2) Kafir (1) Prophet Muhammad (3) Prossess Personal (8) Sunah (1) Syetan (1) Tasawuf (15) Teroris (2) The Daughter (1) Tuhan (1)