Laman

Krisis Spiritualitas



Krisis Spiritualitas .Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi kehidupan modern. Seyyed Hosein Nasr menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai the plight of modern men, nestapa orang-orang modern (Nasr, 1987).

Keadaan ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah berkembang di Eropah pada akhir abad pertengahan sebagai reaksi terhadap jaman sebelumnya di mana doktrin agama (Nasrani) yang dirumuskan oleh gereja mendominasi semua aspek kehidupan, sehingga mengakibatkan bangsa Barat tetap berada pada jaman kegelapan. Lahirnya jaman modern di Eropah serta merta masuk ke dunia Islam, dan begitu kuatnya pengaruh itu sehingga krisis yang sama juga hampir dialami oleh beberapa bagian dunia Islam (Cox: 181-190) yang memilih strategi pembangunan sekular dan karena itu menjauhkan semangat agama dari proses modernisasi.

Sekalipun krisis spiritualitas menjadi ciri peradaban modern, dan modernitas itu telah memasuki dunia Islam, masyarakat Islam tetap menyimpan potensi untuk menghindari krisis itu. Sebabnya ialah sebagian besar dunia Islam belum berada pada tahap perkembangan kemajuan negara-negara Barat. Keadaan ini sangat menguntungkan karena memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman mereka dan membangun strategi pembangunan yang mampu mengambil aspek-aspek positif dari peradaban Barat dan sekaligus menghilangkan aspek-aspek negatifnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertahankan dasar-dasar spiritualisme Islam agar tetap terjaga kehidupan yang seimbang (ummatan wasathan).

Dalam sejarah Islam terdapat khazanah spiritualisme yang sangat berharga, yakni sufisme. Ia berkembang mengikuti dialektika jaman sejak Nabi Muhammad saw sampai sekarang baik dalam bentuk yang sederhana dan ortodoks, maupun yang elaborate dan heterodoks. Perkembangan sufisme mencerminkan ragamnya pemahaman terhadap konsep akhlaq dalam kehidupan sosial dan ihsan dalam kehidupan spiritual.

Jika dilihat dalam konteks sejarah, ragamnya pemahaman itu muncul dalam beberapa fase perkembangan. Pada awal Islam, terutama periode Makkah, begitu jelas al-Qur'an menekankan pentingnya spirirualisme itu. Tetapi hal ini paralel dengan orientasi kesadaran profetik, di mana pengalaman spiritual tidak hanya ditujukan bagi spiritualisme itu sendiri, tetapi bermakna bagi pembangunan etika yang menggerakkan sejarah kehidupan umat Islam. Dalam tahap selanjutnya, spiritualitas itu muncul dalam bentuk kehidupan zuhd ketika umat Islam menikmati kemewahan dengan terciptanya imperium yang luas.

Kehidupan zuhd menjadi reaksi terhadap kehidupan yang sekular dan sikap penguasa dinasti Umayyah di istana mereka, yang kebanyakan bersikap kontras terhadap kesalehan dan kesederhanaan Khalifah yang Empat. Selama dua abad sejak kelahiran Islam, tasawuf merupakan fenomena individual yang spontan. Ia menjadi ciri dari mereka yang dikenal dengan sebutan zuhhad (orang-orang zuhud), nussak (ahli ibadah), qurra' (pembaca al-Qur'an), qushshash (tukang kisah) dan bukka' (penangis). Mereka menjauhkan diri dari hingar bingar kemewahan duniawi dan ketegangan politik di masanya. Setelah itu, ketika cara hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu, istilah sufi secara pelan-pelan mengantikan nama zuhhad, nussak dan lain-lain. Muncullah beberapa nama besar sufi, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 174/790), Rabi'ah al-'Adawiyyah (w. 185/801), dan lain-lain. (Rahman: 132).

Kemudian, muncul organisasi sufi yang ditunjukkan kepada pertemuan yang informal dan longgar untuk diskusi agama, dan latihan spiritual, yang disebut halqah. Pada masa ini mucul para sufi, seperti Sahl al-Tustari (w. 283/896) dan al-Junayd al-Baghdadi (w. 297./910). Pembacaan dzikir bisa dilaksanakan di mana saja, termasuk masjid. Keadaan ini berlangsung sampai dengan abad ke-5/ke-11.

Sejak abad ke-6/ke-12, praktek yang simpel ini berkembang menjadi konsep spiritual yang elaborate dan terorganisasi dalam bentuk tarekat (thariqah). Organisasi ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat, formula dzikir dan silsilah yang diyakini sampai kepada shahabat Nabi. Jadi, tasawuf yang semula menjadi amalan individual atau pemikiran spekulatif sekarang menjadi terstruktur dan kemudian berkembang secara massal. Pasca abad ke-6/ke-12 dunia Islam didominasi oleh tarekat yang memainkan peran besar dalam kehidupan sosial dan politik (Hodgson: 204).

Dunia Islam pasca abad ke-6/ke-12 ditandai dengan lahirnya tarekat-tarekat yang kemudian menjadi jaringan internasional yang pengikutnya bebas lalu-lalang melintasi batas-batas kekuasaan dinasti. Pada akhir abad itu muncul tarekat Qadiriyyah yang dinisbahkan kepada Abd al-Qadir al-Jilani (w. 561/1166). Ia menjadi salah satu tarekat yang paling kuat dan dikenal dengan kesalehan dan humanitarianismenya. Berdiri di Baghdad, ia berkembang ke barat di Afrika Utara dan kemudian Afrika Hitam, ke timur sejauh Indochina dan ke utara di Turki. Sedikit lebih kecil dari tarekat itu adalah Suhrawardiyyah, yang berkembang dari ajaran tasawuf 'Umar al-Suhrawardi, yang meninggal dekat Zanjan, Persia, pada tahun 632/1236. Tarekat ini ditemukan di Afghanistan dan anak benua India.

Sekitar akhir abad ke-8/ke-14 tarekat ini memberikan inspirasi terhadap lahirnya tarekat Khalwathiyyah, yang didirikan di Persia oleh 'Umar al-Khalwathi (w. 800/1398). Ia berkembang di Turki dan selama abad ke-12/ke-18 masuk ke Mesir dan Timur Tengah. Sejaman dengan 'Abd al-Qadir al-Jilani, di kota Bashrah, Iraq, Ahmad al-Rifa'i (w. 578/1182), mendirikan tarekat Rifa'iyyah. Ia berkembang ke Mesir, Turki dan beberapa bagian Asia Tenggara. Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 656/1258) juga melahirkan tarekat yang berpengaruh di Sudan Timur. Tarekat ini pada abad ke-9/ke-15 direformasi dalam bentuk tarekat Jazuliyyah di Marokko. Ajaran-ajaran spiritual Ahmad al-Tijani (w. 1230/1815) di Fez juga membuahkan tarekat Tijaniyyah yang berkembang di Aljazair, Marokko dan Afrika Barat.

Ahmad Yasawi (w. 562/1167) mendirikan Yasawiyyah di Turki. Tarekat ini berpengaruh di Turkestan Barat, dan dari tarekat induk itu lahir tarekat Bektasyiyyah, yang dikembangkan oleh Hajji Bektasy. Ia berkembang di Anatolia. Tarekat lain yang berkembang dari Asia Tengah ke Turki dan wilayah Islam timur adalah Naqsyabandiyyah yang didirkan pada abad ke-8/ke-14 di Bukhara oleh Baha' al-Din Naqsyaband (w. 791/1389). Naqsyabandiyyah berkembang di India, Cina dan Kepulauan Nusantara. Di India ia diperkenalkan oleh Baqi Billah pada abd ke-10/ke-16 dan dikembangkan oleh salah seorang muridnya Ahmad Sirhindi pada abd ke-11/ke-17 yang dikenal dengan tarekat mujaddidiyyah karena pikiran-pikirannya yang reformatif terhadap tarekat itu. Oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1878), yang tinggal dan wafat di kota suci Makkah, ajaran Naqsyabandiyyah digabung dengan Qadiriyyah dan dibawa oleh murid-muridnya ke Indonesia (van Bruinessen: 89-92).

Tarekat yang sangat berpengaruh di kalangan bangsa Turki adalah Mawlawiyyah yang diajarkan oleh Jalal al-Din Rumi (w. 672/1273). Karena tekanan Kemal Ataturk ia kemudian terbatas di Timur Tengah, terutama Aleppo. Di anak benua India, di samping Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah, tarekat yang utama adalah Chistiyyah, didirikan oleh Mu'in al-Din Chisti, yang meninggal di Ajmer pada tahun 633/1236 (Rahman: 158-165; Schimmel: 244-258)

Ada dua sebab yang menjadikan tarekat begitu menarik masyarakat Islam sejak abad ke-6/12. Pertama ialah faktor al-Ghazali (w. 505/1111). Dalam suasana pertentangan klaim jalan untuk mencapai kebenaran, ia telah mempelajari dengan cermat berbagai aliran utama Islam, dan pada akhirnya setelah mengalami krisis intelektual, ia menemukan tasawuf sebagai jalan yang paling valid untuk melihat kebenaran. Begitu kuatnya pengaruh pikiran al-Ghazali yang bukan saja menata kembali teologi Islam dan membersihkan tasawuf dari elemen-elemen tidak Islami, al-Ghazali berhasil menjadikan tasawuf sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Melalui al-Ghazali tasawuf menerima pengakuan ijma' umat Islam (Rahman: 140; Hodgson: 203). Kedua ialah jatuhnya imperium Islam dan dengan demikian muncul perasaan tidak aman di kalangan masyarakat Islam. Pada tahun 1258 Baghdad dihancurkan oleh bangsa Mongol yang kemudian menguasai wilayah-wilayah Persia dan Asia Tengah. Wilayah-wilayah itu mengalami kehancuran baik oleh Mongol maupunpenguasa-penguasa berikutnya. Dalam keadaan seperti itu, masyarakat mencari perlindungan yang akhirnya menemukan tarekat sebagai institusi yang mengisi kevakuman pemerintah yang stabil dan menjamin tatanan sosial. (Hodgson: 202). Ketiga ialah keyakinan bahwa tasawuf mampu mengantarkan manusia berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan jaminan itu diberikan oleh tarekat.

Ajaran tarekat tentang berkah, syafaat, karamah dan ziarah kubur berfungsi mempertautkan batin manusia dengan Tuhan melalui tarekat. Keempat ialah bahwa tasawuf yang diajarkan oleh tarekat bersikap sangat toleran terhadap keyakinan dan praktek keagamaan lokal. Sikap ini sangat menarik mereka yang baru saja masuk Islam dan setengah Islam.

Dengan luasnya pengaruh tarekat di dunia Islam pada abad-abad pertengahan, maka ia mengambil alih peran para penguasa dan pasukan Islam dalam membuka wilayah baru bagi Islamisasi. Gerakan-gerakan tarekat melakukan pengislaman di kalangan penduduk Afrika Hitam, anak benua India dan Asia Tenggara. Faktor Islamisasi itu bukan saja terletak pada toleransi dan akomodasi kepercayaan dan praktek pra-Islam, tetapi juga pada kemampuan para tokoh sufi untuk menampilkan diri sebagai orang suci yang memiliki kesaktian supernatural. Kisah Farid al-Din Ganj-i Syakr (w. 1245 M) tampaknya menggambarkan pola Islamisasi melalui tasawuf. Ia adalah salah seorang syaikh dari tarekat Chistiyyah. Baba Farid, begitu ia dipanggil, tinggal di suatu tempat yang sekarang disebut Pak-pattan, sebuah desa di dataran India utara.

Suatu tempat yang berdebu, rumah-rumahnya terbuat dari tanah liat, dihuni oleh orang-orang yang terkenal buta huruf, takhayul dan suka berkelahi. Baba Farid datang ke desa itu untuk menjauhkan diri dari kemewahan dan godaan istana di Delhi. Selama bertahun-tahun ia melakukan zuhud, menolak kesenangan duniawi, dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang. Di Pak-pattan ia berhenti di pinggir desa di bawah pohon, membuka tikar shalatnya, dan tinggal beberapa lama sendirian. Setelah beberapa saat ia mulai mengenal pengunjungnya. Orang-orang mengenalnya sebagai orang suci. Orang miskin datang untuk minta kesembuhan, jimat dan nasehat tentang persoalan keluarga. Orang-orang juga memintanya untuk menghubungkan dengan tuan tanah dan penarik pajak. Pejabat, pemilik tanah, dan orang kaya datang minta nasehat. Kepala suku datang minta bantuan dalam menyelesaikan pertentangan di kalangan mereka. Pedagang mencari perlindungan agar melewati desa itu dengan aman. Ketika reputasinya berkembang, Baba Farid mendapatkan dana yang cukup untuk membangun ribath (semacam padepokan). Murid-murid berdatangan untuk tinggal bersamanya. Di mata pengikutnya, kedisiplinan, kerajinan shalat dan keberhasilannya sebagai dukun adalah karamah yang bersumber dari berkah Tuhan. Cerita terus bergulir, dan ia kemudian dikeramatkan. Atas namanya orang-orang masuk Islam (Mughni, 1992: 90; Lapidus: 444-445).

Di samping sisi peran positif itu, tarekat ternyata memunculkan sisi negatif berupa pesimisme, kultus dan sinkretisme. Karena itu, pada abad-abad modern muncul gerakan yang melakukan reformasi terhadap berbagai tarekat. Ahmad Sihrindi merupakan contoh yang melakukan kritik terhadap berbagai penyimpangan baik di dalam ajaran tasawuf maupun akibat yang ditimbulkannya. Sungguhpun kritik semacam ini telah pernah dilakukan oleh Ibn Taymiyyah pada abad ke-7/ke-13, tetapi gerakan reformasi ini memiliki pengaruh yang lebih menentukan pada masa pasca Ahmad Sirhindi. Setelah itu, lahir gerakan yang lebih radikal menolak sama sekali tasawuf dan tarekat baik karena penyimpangannya dari ajaran Islam yang autentik mapun akibatnya yang menjadikan umat mengalami kemunduran. Gerakan anti tarekat ini, seperti yang dipelopori oleh Muhammad 'Abduh dan Muhammad Iqbal, sangat berpengaruh sejak awal abad ke-20 dan tampaknya melapangkan jalan bagi proses modernisasi masyarakat Islam (Hourani: 142; Nasution: 191).

Apa yang diterangkan di atas menggambarkan bahwa di satu pihak perkembangan tasawuf itu merupakan reaksi terhadap keadaan sosial, politik dan agama kontemporer. Tasawuf yang bersifat individual dan longgar adalah reaksi terhadap kehidupan yang sekular dan hedonis. Tasawuf seperti itu kemudian berkembang menjadi tarekat sebagai reaksi terhadap kevakuman kekuasaan dan kekacauan politik. Di lain pihak, perkembangan tasawuf merupakan hasil proses dialektika masa sebelumnya. Pada jaman Islam klasik, tasawuf merupakan kepentingan individu. Setelah itu, pada jaman pertengahan, ia berubah menjadi tarekat dan bersifat sosial. Pada jaman modern, muncul arus yang menentang tarekat dan bahkan tasawuf. Pada masa pascamodern, akankah tasawuf dan tarekat itu muncul lagi menjadi semangat jaman?

Berbagai kritik telah dilakukan oleh sebagian kalangan terhadap modernisme yang mempunyai pengaruh begitu kuat dalam peradaban modern. Kritik itu diwakili oleh para penganjur dan penganut post-modernisme, termasuk beberapa sarjana yang menaruh perhatian terhadap Islam. Di dunia Islam kaum modernis mewakili suatu kelompok intelektual Muslim yang secara baik memanfaatkan budaya Barat untuk kepentingan kemajuan Islam. Namun, Fazlur Rahman melihat mereka sebagai kelompok yang tercabut dari akar dan tradisi Islam yang telah berkembang selama berabad-abad. Akar dan tradisi itu diabaikan begitu saja sehingga pembaharuan yang mereka lakukan kehilangan originalitasnya.

Kritik berikutnya diberikan oleh neo-tradisionalisme yang diajukan oleh Seyyed Hossein Nasr. Ia melihat terjadinya malapetaka dalam manusia modern akibat hilangnya spiritualitas yang sesungguhnya inherent dalam tradisi Islam. Ia menyatakan bahwa pada abad yang lalu, gerakan kaum modernis dan kaum reformis di dunia Islam bekerjasama -- walaupun keduanya jelas bertentangan dalam masalah-masalah hukum dan teologi -- untuk menghancurkan seni dan kebudayaan Islam serta menciptakan kegersangan dalam jiwa seorang Muslim sehingga selama beberapa dekade terjadilah penyusupan manifestasi dunia industrial modern yang begitu buruk akibat pengabaian terhadap signifikansi spiritual Islam oleh mereka yang berusaha memodernkan dunia Islam menurut model Barat. Namun, konsepsi Islam ini pasti menciptakan kevakuman dalam jiwa kaum Muslimin dan sangat menghancurkan kekuatan yang dapat menentang pengaruh kebudayaan asing yang melemahkan (Nasr, 1993: 216-217).

Keluhan Rahman terhadap rendahnya originalitas pemikir-pemikir Muslim dan keluhan Nasr terhadap kevakuman spiritualitas menunjukkan pentingnya apresiasi terhadap tradisi Islam. Tentu saja tradisi itu tidak mungkin bertahan dalam bentuk dan isinya yang asli tetapi harus ditempatkan dalam posisi dialog dengan perkembangan jaman. Dalam rangka dialog itu kita harus melihat kecenderungan masyarakat di masa depan dan apa pengaruhnya terhadap kehidupan agama. Setelah itu, kita membangun strategi kebuadayaan di masa depan.

Pada masa yang akan datang tampaknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi akan berlangsung terus irreversible dan sangat menentukan peradaban umat manusia. Namun demikian, masalah-masalah moral dan etika akan ikut mempengaruhi pilihan strategi dalam mengembangkan peradaban di masa depan. Hal ini telah terlihat dalam gejala awal bagi meningkatnya tuntutan hak-hak asasi manusia, ajakan untuk menjadikan agama sebagai motivasi pembangunan, dan kuatnya semangat agama dalam kehidupan privat maupun publik. Disamping itu, mobilitas intelektual yang memiliki komitmen agama benar-benar telah terjadi, dan ini akan sangat mempengaruhi corak peradaban di masa yang akan datang.

Dalam kondisi kebudayaan seperti itu, ada beberapa kemungkin yang akan terjadi pada tingkat corak keberagamaan umat Islam. Kemungkinan itu akan sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang saling menarik, misalnya kekuatan internal atau faktor dinamik ajaran Islam dengan kekuatan eksternal. Mana di antara faktor-faktor itu yang paling dominan dalam menentukan perjalanan Islam sangat sulit diramalkan. Karena itulah sering kali perhitungan futurolog ternyata meleset dari kenyataan. Dengan demikian, kita hanya bisa memperkirakan beberapa kemungkinan corak agama yang akan menjadi mentalite masyarakat di masa mendatang.

Pertama ialah kecenderungan bahwa Islam akan semakin kuat menjadi established religion, yaitu agama yang sangat menekankan aspek-aspek normatif. Di sini ulama' tetap memegang peran penting dalam rangka menjaga kemurnian agama, dan karena itu mereka memiliki otoritas untuk berbicara atas nama Islam yang sesuai dengan ajaran al-Qur'an dan Sunnah.

Kedua ialah kecenderungan bahwa Islam akan menjadi ethical religion. Dalam kecenderungan ini, Islam lebih berfungsi sebagai ajaran etika akibat proses modernisasi dan sekularisasi yang secara perlahan-lahan hanya memberikan peluang yang sangat kecil bagi penghayatan teologis dan normatif. Keadaan ini telah dialami oleh agama Protestan di negara-negara Barat. Advokasi terhadap pemahaman Islam kontekstual dan bukan tekstual sesungguhnya ikut melicinkan jalan bagi lahirnya Islam sebagai agama etika.

Ketiga ialah kecenderungan Islam menjadi spiritual religion. Dalam keadaan ini Islam dihayati dan diamalkan sebagai sesuatu yang spiritual sebagai reaksi terhadap perubahan masyarakat yang sangat cepat akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi. Orang tidak akan lagi menghiraukan rigiditas teologis dan ritual lebih daripada kepuasan dan keamanan batiniyah. John Naisbitt telah meramalkan kecenderungan ini akan semakin kuat pada masa yang akan datang (Naisbitt: 275).

Dalam konteks dunia Islam, ketiga corak Islam itu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan umumnya negara-negara Islam. Bahkan dunia Islam bisa melahirkan sintesis yang kreatif dari tiga corak itu. Pemikiran sintesis ini pernah disuarakan oleh Ibn Taymiyyah pada abad ke-13 ketika melihat suatu keadaan di mana sebagian masyarakat Islam melaksanakan agama secara verbal dan formal, sebagian terjerumus ke dalam kultus para wali, dan sebagian lagi terjerumus ke dalam sikap antinomian yang mengabaikan ketentuan syari'ah (Memon, 1976). Ibn Taymiyyah menyatakan penekanan yang sama terhadap semua sisi ajaran Islam.

Sintesis juga bisa dilakukan dengan menekankan satu sisi ketika orang sedang berada pada ujung sisi yang lain. Dalam keadaan seperti ini, tasawuf akan memiliki peran penting dalam mempertahankan keseimbangan budaya agama. Ia akan sangat berguna dalam menjinakkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi. Ia juga menjadi penting dalam mengisi kegersangan rohaniyah dan memberikan makna spiritual bagi keberhasilan duniawi. Lebih dari itu, dalam situasi yang tidak stabil akibat kevakuman institusi politik, tasawuf dalam bentuk tarekat bisa mengambil peran itu. Sebagai tambahan, tasawuf bisa menjadi wacana spiritual untuk menghindari keberagamaan yang formalistik dan simbolik (Arifin: 39-40). Dengan demikian, tasawuf akan menjadi komponen penting yang harus diperhitungkan dalam strategi membangun peradaban di masa depan.

Spiritualisme baik dalam bentuk tasawuf, ihsan maupun akhlaq menjadi kebutuhan sepanjang hidup manusia dalam semua tahap perkembangan masyarakat. Untuk masyarakat yang masih terbelakang, spiritualisme harus berfungsi sebagai pendorong untuk meningkatkan etos kerja dan bukan pelarian dari ketidakberdayaan masyarakat untuk mengatasi tantangan hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat maju-industrial, spiritualisme berfungsi sebagai tali penghubung dengan Tuhan.

Namun demikian, perlu diingat bahwa tasawuf tidak bisa dipisahkan dari kerangka pengamalan agama, dan karena itu harus selalu berorientasi kepada al-Qur'an dan Sunnah. Inilah yang mungkin disebut oleh HAMKA sebagai 'tasawuf modern', yakni tasawuf yang membawa kemajuan, bersemangat tauhid dan jauh dari kemusyrikan, bid'ah dan khurafat. Karena itu, gambaran seorang sufi yang sejati ialah nabi kita Muhammad saw. Seperti telah disebut di muka, spiritualisme pada generasi pertama Islam dikembangkan bukan untuk spiritualisme per se, tetapi berfungsi untuk mendorong gerak sejarah ke depan dan pada saat yang sama membuat hidup menjadi seimbang.

Namun demikian, dalam kehidupan riil mungkin saja terjadi bahwa salah satu aspek ajaran Islam ditekankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada jamannya. Bagi masyarakat terbelakang, Islam harus digambarkan sebagai ajaran yang mendorong kemajuan. Bagi masyarakat maju-industrial, Islam harus ditekankan sebagai ajaran spiritual dan moral. Strategi ini sebenarnya ditujukan untuk menyeimbangkan ayunan pendulum. Ketika pendulum itu bergerak ke ujung kiri, kita harus menariknya ke kanan. Demikian juga, ketika ia bergerak ke
ujung kanan, kita harus segera menariknya ke kiri. Dengan cara ini, maka akan terbangun kehidupan yang seimbang antara lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi, serta individu dan masyarakat. Keseimbangan ini harus menjadi ruh bagi peradaban di masa depan. [
continued on next post ]





No comments:

Post a Comment