Islam menjadikan "amar makruf nahi munkar" sebagai kewajiban dasar yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim sesuai dengan kadar kemampuannya masing-masing. Bahkan kedua spirit tersebut menjadi asas keutamaan, sumber kebaikan dan ciri khusus umat Islam yang membedakannya dari umat manusia lainnya.
Allah SWT berfirman, "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110).
Dalam kaitannya dengan amar makruf (menyuruh kepada kebaikan), hampir semua kalangan mengetahui strategi dan prinsip yang harus diterapkan. Diantaranya metode penyampaian yang baik, tidak menyakiti pihak lain, menjauhkan diri dari isu SARA, dan melakukan perdebatan dengan kepala dingin (QS. An-Nahl: 125).
Namun, dalam kaitannya dengan nahi munkar (mencegah kemunkaran) tidak semua kalangan memahami syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan tindakan. Padahal, pemenuhan syarat-syarat tersebut berkaitan erat dengan hasil yang akan di dapat, khususnya agar tindakan mencegah kemunkaran tidak melahirkan kemunkaran baru yang lebih besar, tidak menimbulkan tindakan balas dendam, dan tidak dikecam pihak lain karena dipandang sebagai tindakan yang tidak memiliki dasar kuat (illegal).
Dr Yusuf Al-Qardhawi mensyaratkan beberapa hal dalam pelaksanaan nahi munkar sebagaimana tersebut dalam hadis shahih riwayat Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangan (kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah merubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah merubahnya dengan hatinya. Yang terakhir itu adalah iman yang paling lemah."
Pertama, hendaknya kemunkaran tersebut disepakati kemunkarannya. Artinya kemunkaran yang diperangi masuk dalam kategori perbuatan haram, bukan makruh atau meninggalkan yang sunah/mustahab.
Kedua, hendaknya kemunkaran tersebut nyata dan kasat mata. Adapun seandainya kemunkaran tersebut tersembunyi dari pandangan manusia, maka dilarang memata-matainya dengan berbagai alat dan perangkat apa pun, karena Islam hanya membolehkan pemberian sanksi terhadap munculnya kemunkaran yang nyata dan kasat mata, bukan yang tersembunyi.
Ketiga, memiliki kemampuan (kekuatan) yang diyakini dapat membasmi (memerangi) kemunkaran dengan mudah dan elegan. Kekuatan di sini berarti fisik dan nonfisik serta berwenang atau memiliki otoritas dalam melakukan tindakan memerangi kemunkaran.
Keempat, tidak ada kekhawatiran bahwa kemunkaran yang diperangi akan melahirkan kemunkaran baru yang lebih besar sehingga menyebabkan fitnah, pertumpahan darah, merugikan pihak lain, makin tersebarnya kemunkaran, menimbulkan kekacauan dan kerusakan di bumi.
Ibnu Qayyim meriwayatkan bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah RA berkata, "Pada masa pendudukan pasukan Tartar (Mongolia), aku bersama para sahabatku berjalan melewati kumpulan masyarakat yang meneguk minuman keras dengan nyata. Sebagian sahabatku mencela tindakan tersebut dan hendak melarangnya, namun aku mecegahnya kukatakan kepada mereka, ‘Sungguh, Allah SWT mengharamkan minuman keras karena ia dapat membuat orang lupa kepada Allah dan lupa shalat. Adapun pasukan Tartar itu dengan meminum khamr justru membuat mereka lupa dari membunuh manusia, menawan orang dan merampas harta. Maka biarkanlah mereka’."
Demikian penting landasan ilmu pengetahuan dalam "amar makruf nahi munkar" sehingga tindakan mulia tersebut tidak semata-mata bertumpu pada hasil, melainkan juga bertumpu pada kemaslahatan yang lebih besar dan tidak munculnya kemunkaran baru yang lebih dahsyat. ( republika.co.id )
No comments:
Post a Comment