Belajar Mencari Hikmah. Pada postingan sebelumnya, telah dikutipkan surat Aali Imraan/3:31 yang terjemahannya sebagai berikut, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah.”
Dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak bisa membedakan antara kata “mengikuti” dan “meniru”. Yang diperintahkan kepada umat manusia adalah “mengikuti” atau “ittiba‘”, bukan meniru. Hal ini jelas, karena manusia bukanlah hewan. Manusia adalah sebuah kepribadian yang bisa tumbuh dan berkembang. Manusia adalah kepribadian yang dapat tumbuh dewasa. Mula-mula manusia tumbuh menjadi “kanak-kanak” yang sifatnya hanya meniru. Ia berusaha meniru perilaku di lingkungannya. Dalam bahasa agama, ia dikatakan tumbuh secara “taqlid”.
Mengapa peniruan oleh kanak-kanak ini disebut taqlid? Karena tahap pemikiran kanak-kanak belum berkembang dengan baik. Sedangkan meniru adalah tahap pertama dalam proses pendewasaan pribadinya. Kanak-kanak ingin melakukan apa saja yang dilihatnya. Ia belum bisa mengerti alasan mengapa perbuatan tertentu dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Seandainya kanak-kanak itu bisa berjanggut, maka ia akan memelihara janggutnya bila orang-orang di sekitarnya berjanggut. Contoh yang paling konkret dalam bertaklid adalah “merokok”. Perbuatan merokok yang dilakukan oleh para remaja adalah produk dari taklid. Akhirnya, perbuatan ini menjadi kebiasaan sampai dewasa dan tua, mungkin seumur hidupnya.
Banyak sekali perbuatan agamis kita ini juga hasil dari taklid ketika kita masih kecil atau ketika kita bersentuhan pertama kali dengan ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini kita mengaji Al-Quran dan Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau “justifikasi” bagi kepercayaan atau perbuatan yang telah kita lakukan. Sebaliknya, kita ini jarang sekali yang menelaah Al Quran dan Al Hadis untuk melahirkan suatu produk yang berupa perbuatan etika (sopan-santun), estetika (keindahan), dan spiritual (semangat hidup) yang unggul. Semenjak mandegnya kemunculan tokoh-tokoh besar Islam 1.000 tahun yang lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada mereka.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dari sikap taklid ini tidak menghasilkan rahmat bagi umat Islam. Bahkan sering perbedaan ini menjadi bencana atau mala petaka bagi umat. Mengapa demikian? Karena perbedaan itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang tumbuh dari peniruan, akan melahirkan “claim-claim” kebenaran. Banyak orang yang beranggapan bahwa apa yang ditirunya (bukan diikutinya, sekali lagi bukan diikutinya) sebagai yang paling benar. Akhirnya, orang berebut benar sendiri. Orang lain yang tidak sepaham atau seperti apa yang ditirunya dianggap berada dalam jalan yang salah. Ia merasa telah berada di atas dalil yang benar; padahal dalil tadi hanyalah intepretasi atau paham mursyid, gurunya.
Nah, tasawuf mengajak kita untuk beramal dengan arif. Tasawuf mengajak kita untuk mencari hikmah Allah. Tak ada kampus atau sekolahan di dunia ini yang memberikan pelajaran hikmah atau “wisdom”. Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, karena itu marilah kita cari, dan di mana pun ia berada harus kita temukan, dan kita ambil. Kitasusuri melalui jalur syariat, kita gunakan cara (tarekat) untuk menemukannya. Lalu kita pahami hakikatnya, dan lahirlah hikmah. Dengan hikmah yang diberikan kepada kita maka kita memperoleh kebajikan yang banyak. Akhirnya, dada kita terasa lapang. Dan, lapang dada adalah sarana untuk mendapatkan hikmah.
Surat Al Baqarah/2:269,
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan barangsiapa yang menerima hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Tak ada yang dapat memahami pelajaran kecuali kelompok albab.”
Kata “khairan katsiira” pada ayat di atas sebenarnya tidak cukup diterjemahkan dengan “kebajikan yang banyak”. Makna “khair” yang lain adalah sesuatu yang sangat baik, rahmat, keistimewaan, keuntungan, dan kesejahteraan. Sehingga proses untuk mencapai status “Hamba-Tuhan” atau “Manunggaling kawula-Gusti” adalah proses pencarian hikmah. Dan seperti yang telah saya jelaskan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya, kalimat “siapa yang dikehendaki-Nya” tidak berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang. Arti yang sebenarnya kalimat tersebut adalah Dia menghendaki siapa yang menghendaki-Nya. Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad menjadi nabi, bukan karena mereka semata-mata dikehendaki menjadi nabi; tetapi mereka adalah orang-orang yang telah berjuang keras mencari-Nya.
Kedua ayat tersebut, yaitu 3:31 dan 2:269 merupakan ayat yang saling melengkapi untuk memahami tasawuf. Pada 3:31 yang ditekankan adalah kecintaan atau “mahabbah” dari Allah kepada hamba-Nya yang sungguh-sungguh mencintai-Nya. Jika Allah mencintai hamba-Nya maka ditutupinya semua dosa hamba-Nya. Jika Allah menutupi segala dosa hamba-Nya tidak berarti dosa itu dihapus seperti kita menghapus papan tulis yang kotor, tetapi hamba tersebut menerima hikmah dari ssi-Nya. Dengan hikmah tersebut hamba dapat bertindak atau beramal yang mendatangkan keuntungan yang besar. Sehingga dosa atau kerugian yang ada itu tertutupi atau terlunasi.
Jika ujung ayat 3:31 berbunyi “Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, maka ujung ayat 2:269 adalah “ Tak ada yang dapat memahami pelajaran atau ayat-ayat Tuhan, kecuali kaum albab. Kaum albab adalah mereka yang mampu menyatukan dada dan kepala, hati dan otak, atau perasaan dan nalarnya. Karena itu mereka layak menerima hikmah. Sedangkan pengampun dan penyayang adalah sifat asli Tuhan. Artinya, Tuhan senantiasa merespon hamba-Nya yang betul-betul memohon ampun dan kasih-sayang-Nya, yang dalam ayat di atas disebutkan sebagai “mencintai Tuhan” yang dibuktikan dengan cara berittiba‘ atau mengikuti Rasul s.a.w.
Dalam QS 3:32 disebutkan bahwa mengikuti Rasul itu harus diwujudkan dengan tindakan menaati atau mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun, kebanyakan orang memiliki pengertian yang salah tentang kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah sering disamakan dengan Al Quran, sedangkan Rasul disamakan dengan Al Hadis. Allah Yang Maha Hidup dan Maha Besar itu dikecilkan menjadi sekadar sebuah Kitab Suci. Inilah kesalahan yang sangat fatal.
Allah adalah Allah! Allah bukanlah Taurat, Zabur, Injil, atau Al Quran. Semua kitab suci hanyalah sebagian kecil dari kalam-Nya. Seandainya lautan itu dijadikan tinta dan pohon-pohon di muka bumi ini dijadikan pena, maka telah keringlah tinta itu sebelum habis kalam Tuhan. Kalam-Nya yang ditulis dalam kitab-kitab itu hanyalah miniatur dari kebenaran Ilahi. Karena kitab suci itu miniatur dari kalam-Nya maka diperlukan pemahaman pesan-pesan-Nya. Kalau hanya sekadar membaca kulitnya, selamanya tak akan pernah mengerti isi kitab suci tersebut.
Surat Al Kahfi/18:109 menyebutkan,
“Qul lau kaana l-bahru midaadal li kalimaati rabbii lanafida l-bahru qabla antanfada kalimaatu rabbii wa lau ji’naa bi mitslihii madadaa.”
“Katakanlah, seandainya air laut itu sebagai tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya air laut itu kering sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis dituliskan; bahkan jika ditambahkan sebanyak itu.”
Jadi, jelaslah bahwa kalam Allah itu tak terhingga. Karena kalam Allah itu seluas ilmu-Nya. Dan, keluasan Allah di banyak ayat dinyatakan dengan iringan kemahatahuan-Nya, yaitu “Innallaaha waasi-‘un ‘aliim”, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. Nah, belajar tasawuf sebenarnya mempelajari bagaimana caranya mencintai Allah dan mendekatkan diri ke maqam-Nya atau ke Hadirat-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Hidup, sedangkan kitab suci memuat kalam-Nya. Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan kitab suci bersifat kontekstual yang ada di dalam ruang dan waktu. Dan, Al Quran sebagai salah satu kitab suci, ia berkaitan dengan bahasa dan budaya Arab, lebih tepatnya Arab Qureisy.
Lalu bagaimana dengan Muhammad Rasul Allah? Rasul adalah manusia yang diutus untuk mengajarkan kalam Allah tersebut. Seperti yang dikatakan dalam firman-Nya dalam surat al Ghaasyiyah/88:21-22, “Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaithir”, Sampaikan ajaran (Tuhan) karena sesungguhnya engkau orang yang menyampaikan ajaran, dan engkau bukanlah orang yang ditugasi untuk menguasai mereka. Dan ayat senada ada pada QS 87:9, yaitu Nabi s.a.w. diperintah untuk menyampaikan ajaran, karena ajaran dari Tuhan itu bermanfaat bagi manusia.
Kemudian, dimana letak Al Hadis dalam pengajaran kalam Ilahi kepada umat manusia? Jadi, di dalam mengajarkan kalimat-kalimat Tuhan kepada manusia, Nabi memberikan contoh-contoh yang pas bagi yang beliau ajar. Nabi memberikan contoh sesuai dengan daya tangkap dan tingkat kecerdasan orang-orang yang beliau ajar. Karena itu hadis-hadis itu sifatnya kasuistis. Al Hadis adalah produk atau jawaban bagi masalah yang dihadapi oleh umat pada waktu kehidupan Rasul di bumi. Sehingga Al Hadis harus ditempatkan sebagai referensi dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi. Masalah dalam kehidupan manusia terus berkembang karena adanya perubahan lingkungan hidup manusia. Untuk memberikan solusi yang islami, umat Islam harus merujuk kepada Nabi, bukan meniru Nabi. Beliau telah memberikan “uswatun hasanah” atau contoh-contoh yang baik dalam memberikan solusi.
Masalah yang paling pokok bagi manusia adalah masalah psikologis, masalah yang terkait dengan faktor kejiwaan. Dapat dikatakan 95% problem manusia adalah problem yang muncul dari jiwanya. Dan, agama-agama diturunkan kepada manusia adalah untuk memberikan jawaban bagi jiwa manusia agar manusia menjadi terarah hidupnya dan dapat menemukan jalan hidupnya. Oleh karena problema manusia itu problema jiwanya, dan daya tangkap dan kecerdasan manusia itu berbeda-beda, maka untuk hal-hal yang bersifat sangat abstrak atau batiniah, oleh Nabi, diajarkan pada orang-orang tertentu saja. Dan sumber ajaran tasawuf kalau dirunut hingga akarnya akan dijumpai pada Abubakar dan Ali bin Abi thalib, dan penghulunya adalah Muhammad Rasulullah s.a.w.
Dengan demikian mematuhi Allah dan Rasul-Nya tidak sama dengan meniru yang tersurat dalam Al Quran dan Al Hadis. Meniru yang tersurat akan melahirkan sikap spekulatif. Dan, akhirnya mengabsolutkan yang relatif. Hal demikian ini disinggung dalam QS 62:5, Tuhan membuat permisalan bagi orang-orang yang berkewajiban mempelajari isi Taurat, tetapi mereka tidak mau mempelajarinya untuk menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya, maka mereka itu diumpamakan sebagai keledai yang mengangkut kitab-kitab yang tebal. Tentu saja kitab-kitab itu tidak bisa menjadi petunjuk bagi keledai. Kitab itu tak akan menjadi solusi bagi mereka. Bahkan kalau cuma dibawa secara fisik, cuma disentuh kulitnya, akan menjadi beban bagi dirinya. Hasil akhirnya adalah kezaliman. Dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang lalim, “Wallaahu laa yahdi l-qauma zh-zhaalimiin,” seperti pada ujung ayat tersebut.
Umat manusia tidak diperintah untuk meniru Rasul atau bertaklid kepada beliau, maka itu Allah memerintah Rasul untuk menyeru kepada jalan Tuhan itu dengan menggunakan al-hikmah dan pengajaran yang baik. Jadi, umat diperintah oleh Allah untuk berittiba‘, mengikuti ajaran beliau. Dan beliau serta orang-orang yang menjadi ahli waris ajaran beliau diperintah untuk menyeru ke jalan Tuhan dengan menggunakan hikmah dan peng-ajaran yang baik. Ayat selengkapnya pada QS 16:125 sebagai berikut,
“Ud-‘u ilaa sabiili rabbika bi l-hikmati wa l-mau-‘izhati l-hasanati wa jaadilhum bi l-latii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a‘lamu bi man dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a‘lamu bi l-muhtadiin.”
“Serulah mereka itu kepada jalan Tuhan engkau dengan menggunakan hikmah dan mauizhah yang baik. Dan berargumenlah dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Marilah kita rinci pengertian ayat tersebut. Kita pahami kandungannya.
Pertama, Nabi?dan orang-orang yang menjadi ahli waris kenabian?diperintah untuk mengajak manusia ke jalan Tuhan. Coba perhatikan makna kata “ajakan”. Jelas bahwa ajakan tidak sama dengan paksaan. Jika kita melihat tingkah laku umat sekarang ini tampak sekali adanya paksaan untuk mempraktikkan agama. Sedangkan Al Quran sendiri menyebut bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”. Lihat kembali surat ke-88 di atas. Betul-betul kehidupan beragama itu sebagai ajakan. Di sini harus bisa kita bedakan dengan pelarangan untuk berbuat kriminal. Untuk mencegah timbulnya kriminalitas atau kezaliman dalam hidup bernegara ini, pemerintah yang berkewajiban menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan warga berkewajiban mematuhinya. Nah, di sini kita harus memahami mana ayat-ayat yang menunjukkan Muhammad sebagai Nabi, dan Muhammad sebagai Kepala Negara/Pemerintahan.
Ke dua, diajak menuju jalan Tuhan. Lho, Tuhan punya jalan? Pengertian ayat itu adalah Tuhan telah menciptakan “sabiil” atau jalan bagi ciptaan dan ‘amr (kehendak)-Nya. Ciptaan adalah sesuatu yang menjadi ada melalui sebuah proses, sedangkan kehendak-Nya ada tanpa proses kejadian. Nah, proses kejadian dan kehendak itu mengikuti suatu jalan yang telah ditetapkan Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Dan, jalan yang telah ditentukan Tuhan itu banyak. Karena itu, kata “sabiil” mempunyai kata pluralnya yaitu “subul”. Jalan-jalan ini pada akhirnya menjadi satu di jalan yang besar yang disebut “shiraath”. Dengan demikian, ada satu shiraath yaitu “shiraath al-mustaqiim”. Dan petunjuk ke jalan yang lurus inilah yang kita minta dari Tuhan.
Ke tiga, cara mengajak kepada jalan Tuhan itu pun harus menggunakan “hikmah” atau “wisdom”. Tidak ada sekolahan atau tempat belajar untuk memperoleh hikmah. Karena hikmah bukan materi atau sesuatu yang tampak. Hikmah sendiri berasal dari kata “hukum”, karena itu hikmah merupakan esensi kebenaran yang tampak. Diceritakan di dalam Al Quran, surat Al Baqarah/2:251, bahwa Daud sebelum diangkat menjadi Nabi, memperoleh hikmah dari Tuhan. Sehingga beliau mampu mengalahkan Jalud, yang jauh lebih kuat, hanya dengan ketapel. Nah, ide menggunakan ketapel untuk membunuh Jalud itu namanya hikmah. Karena hikmah itu sebuah esensi sebuah kebenaran yang tampak, maka ia tidak bisa didentifikasi layaknya sebuah produk. Sebab jika sekarang Anda bertempur dengan orang yang menggunakan bedil, lalu Anda menggunakan ketapel, ya Anda akan kalah dan kemungkinan besar mati. Ketapel ditangan Anda bukan lagi hikmah namanya. Karena itu hikmah harus digali dan dicari. Tetapi hikmah tak akan kita dapatkan bila kita berlaku lalim, karena Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang bertindak zalim, aniaya, yang merugikan.
Ke empat, disamping menggunakan hikmah, orang harus kita ajak dengan menggunakan mau-izhah yang baik. Kata mau-izhah berasal dari “wa- ‘a-zha” yang artinya memberikan nasihat atau peringatan. Jadi, mau-izhah artinya pelajaran yang mengandung nasihat dan peringatan. Dan itu pun harus yang baik, yang tidak menyakitkan hati orang yang di ajak melalui jalan Tuhan. Lha, kalau mengajaknya itu bukan dengan cara yang baik, maka yang diajak akan ketakutan atau malah tidak percaya. Dengan hikmah ajakan itu akan tepat sasaran, dan dengan mau-izhah yang baik yang diajak akan masuk dengan puas.
Ke lima, berargumen dengan cara yang sebaik-baiknya. Kadang kala yang diajak itu minta penjelasan dan bahkan membantah. Dalam keadaan demikian, ajakan itu harus disertai argumen atau bantahan yang sebaik-baiknya. Bukan hanya cara yang baik, tetapi yang lebih baik. Sehingga yang diajak tidak tersinggung hatinya.
Ke enam, ajakan itu harus disertai kewaspadaan. Di ujung ayat tersebut dikatakan bahwa Tuhan lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya. Meskipun dalam ayat itu dinyatakan “Tuhan lebih mengetahui”, namun dalam praktik, orang yang mengajak kepada jalan Tuhan itu yang harus waspada. Dengan kewaspadaan itu amalan untuk mengajak kepada jalan Tuhan tidak menjadi sia-sia, yaitu kehilangan waktu dan tenaga. Waspada artinya cermat, siapa yang diajaknya berdebat atau berargumentasi itu. Dengan demikian tidak timbul debat kusir.
Ke tujuh, kewaspadaan itu harus diikuti dengan persuasi atau kesantunan. Jika sudah di-cermati bahwa orang yang diajak kepada jalan Tuhan itu sungguh-sunnguh orang yang mau mengikuti, maka selanjutnya adalah menyantuninya dengan memberikan binaan dan bimbingan. Dengan cara ini terbentuklah kehidupan umat yang harmonis, yang setara dalam pergaulan hidup, sama-sama berada di jalan Tuhan.
Nah, belajar tasawuf sebenarnya belajar untuk dapat mencari dan memperoleh hikmah dalam kehidupan ini. Dengan memperoleh hikmah, kita tidak lagi beribadah untuk mencari surga atau karena takut neraka. Karena hikmah itu sendiri merupakan kebajikan, rahmat, keuntungan, “advantage” yang banyak. Sekian pelajaran hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan kita lanjutkan bagian ke-3.
Dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak bisa membedakan antara kata “mengikuti” dan “meniru”. Yang diperintahkan kepada umat manusia adalah “mengikuti” atau “ittiba‘”, bukan meniru. Hal ini jelas, karena manusia bukanlah hewan. Manusia adalah sebuah kepribadian yang bisa tumbuh dan berkembang. Manusia adalah kepribadian yang dapat tumbuh dewasa. Mula-mula manusia tumbuh menjadi “kanak-kanak” yang sifatnya hanya meniru. Ia berusaha meniru perilaku di lingkungannya. Dalam bahasa agama, ia dikatakan tumbuh secara “taqlid”.
Mengapa peniruan oleh kanak-kanak ini disebut taqlid? Karena tahap pemikiran kanak-kanak belum berkembang dengan baik. Sedangkan meniru adalah tahap pertama dalam proses pendewasaan pribadinya. Kanak-kanak ingin melakukan apa saja yang dilihatnya. Ia belum bisa mengerti alasan mengapa perbuatan tertentu dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Seandainya kanak-kanak itu bisa berjanggut, maka ia akan memelihara janggutnya bila orang-orang di sekitarnya berjanggut. Contoh yang paling konkret dalam bertaklid adalah “merokok”. Perbuatan merokok yang dilakukan oleh para remaja adalah produk dari taklid. Akhirnya, perbuatan ini menjadi kebiasaan sampai dewasa dan tua, mungkin seumur hidupnya.
Banyak sekali perbuatan agamis kita ini juga hasil dari taklid ketika kita masih kecil atau ketika kita bersentuhan pertama kali dengan ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini kita mengaji Al-Quran dan Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau “justifikasi” bagi kepercayaan atau perbuatan yang telah kita lakukan. Sebaliknya, kita ini jarang sekali yang menelaah Al Quran dan Al Hadis untuk melahirkan suatu produk yang berupa perbuatan etika (sopan-santun), estetika (keindahan), dan spiritual (semangat hidup) yang unggul. Semenjak mandegnya kemunculan tokoh-tokoh besar Islam 1.000 tahun yang lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada mereka.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dari sikap taklid ini tidak menghasilkan rahmat bagi umat Islam. Bahkan sering perbedaan ini menjadi bencana atau mala petaka bagi umat. Mengapa demikian? Karena perbedaan itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang tumbuh dari peniruan, akan melahirkan “claim-claim” kebenaran. Banyak orang yang beranggapan bahwa apa yang ditirunya (bukan diikutinya, sekali lagi bukan diikutinya) sebagai yang paling benar. Akhirnya, orang berebut benar sendiri. Orang lain yang tidak sepaham atau seperti apa yang ditirunya dianggap berada dalam jalan yang salah. Ia merasa telah berada di atas dalil yang benar; padahal dalil tadi hanyalah intepretasi atau paham mursyid, gurunya.
Nah, tasawuf mengajak kita untuk beramal dengan arif. Tasawuf mengajak kita untuk mencari hikmah Allah. Tak ada kampus atau sekolahan di dunia ini yang memberikan pelajaran hikmah atau “wisdom”. Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, karena itu marilah kita cari, dan di mana pun ia berada harus kita temukan, dan kita ambil. Kitasusuri melalui jalur syariat, kita gunakan cara (tarekat) untuk menemukannya. Lalu kita pahami hakikatnya, dan lahirlah hikmah. Dengan hikmah yang diberikan kepada kita maka kita memperoleh kebajikan yang banyak. Akhirnya, dada kita terasa lapang. Dan, lapang dada adalah sarana untuk mendapatkan hikmah.
Surat Al Baqarah/2:269,
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan barangsiapa yang menerima hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Tak ada yang dapat memahami pelajaran kecuali kelompok albab.”
Kata “khairan katsiira” pada ayat di atas sebenarnya tidak cukup diterjemahkan dengan “kebajikan yang banyak”. Makna “khair” yang lain adalah sesuatu yang sangat baik, rahmat, keistimewaan, keuntungan, dan kesejahteraan. Sehingga proses untuk mencapai status “Hamba-Tuhan” atau “Manunggaling kawula-Gusti” adalah proses pencarian hikmah. Dan seperti yang telah saya jelaskan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya, kalimat “siapa yang dikehendaki-Nya” tidak berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang. Arti yang sebenarnya kalimat tersebut adalah Dia menghendaki siapa yang menghendaki-Nya. Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad menjadi nabi, bukan karena mereka semata-mata dikehendaki menjadi nabi; tetapi mereka adalah orang-orang yang telah berjuang keras mencari-Nya.
Kedua ayat tersebut, yaitu 3:31 dan 2:269 merupakan ayat yang saling melengkapi untuk memahami tasawuf. Pada 3:31 yang ditekankan adalah kecintaan atau “mahabbah” dari Allah kepada hamba-Nya yang sungguh-sungguh mencintai-Nya. Jika Allah mencintai hamba-Nya maka ditutupinya semua dosa hamba-Nya. Jika Allah menutupi segala dosa hamba-Nya tidak berarti dosa itu dihapus seperti kita menghapus papan tulis yang kotor, tetapi hamba tersebut menerima hikmah dari ssi-Nya. Dengan hikmah tersebut hamba dapat bertindak atau beramal yang mendatangkan keuntungan yang besar. Sehingga dosa atau kerugian yang ada itu tertutupi atau terlunasi.
Jika ujung ayat 3:31 berbunyi “Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, maka ujung ayat 2:269 adalah “ Tak ada yang dapat memahami pelajaran atau ayat-ayat Tuhan, kecuali kaum albab. Kaum albab adalah mereka yang mampu menyatukan dada dan kepala, hati dan otak, atau perasaan dan nalarnya. Karena itu mereka layak menerima hikmah. Sedangkan pengampun dan penyayang adalah sifat asli Tuhan. Artinya, Tuhan senantiasa merespon hamba-Nya yang betul-betul memohon ampun dan kasih-sayang-Nya, yang dalam ayat di atas disebutkan sebagai “mencintai Tuhan” yang dibuktikan dengan cara berittiba‘ atau mengikuti Rasul s.a.w.
Dalam QS 3:32 disebutkan bahwa mengikuti Rasul itu harus diwujudkan dengan tindakan menaati atau mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun, kebanyakan orang memiliki pengertian yang salah tentang kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah sering disamakan dengan Al Quran, sedangkan Rasul disamakan dengan Al Hadis. Allah Yang Maha Hidup dan Maha Besar itu dikecilkan menjadi sekadar sebuah Kitab Suci. Inilah kesalahan yang sangat fatal.
Allah adalah Allah! Allah bukanlah Taurat, Zabur, Injil, atau Al Quran. Semua kitab suci hanyalah sebagian kecil dari kalam-Nya. Seandainya lautan itu dijadikan tinta dan pohon-pohon di muka bumi ini dijadikan pena, maka telah keringlah tinta itu sebelum habis kalam Tuhan. Kalam-Nya yang ditulis dalam kitab-kitab itu hanyalah miniatur dari kebenaran Ilahi. Karena kitab suci itu miniatur dari kalam-Nya maka diperlukan pemahaman pesan-pesan-Nya. Kalau hanya sekadar membaca kulitnya, selamanya tak akan pernah mengerti isi kitab suci tersebut.
Surat Al Kahfi/18:109 menyebutkan,
“Qul lau kaana l-bahru midaadal li kalimaati rabbii lanafida l-bahru qabla antanfada kalimaatu rabbii wa lau ji’naa bi mitslihii madadaa.”
“Katakanlah, seandainya air laut itu sebagai tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya air laut itu kering sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis dituliskan; bahkan jika ditambahkan sebanyak itu.”
Jadi, jelaslah bahwa kalam Allah itu tak terhingga. Karena kalam Allah itu seluas ilmu-Nya. Dan, keluasan Allah di banyak ayat dinyatakan dengan iringan kemahatahuan-Nya, yaitu “Innallaaha waasi-‘un ‘aliim”, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. Nah, belajar tasawuf sebenarnya mempelajari bagaimana caranya mencintai Allah dan mendekatkan diri ke maqam-Nya atau ke Hadirat-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Hidup, sedangkan kitab suci memuat kalam-Nya. Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan kitab suci bersifat kontekstual yang ada di dalam ruang dan waktu. Dan, Al Quran sebagai salah satu kitab suci, ia berkaitan dengan bahasa dan budaya Arab, lebih tepatnya Arab Qureisy.
Lalu bagaimana dengan Muhammad Rasul Allah? Rasul adalah manusia yang diutus untuk mengajarkan kalam Allah tersebut. Seperti yang dikatakan dalam firman-Nya dalam surat al Ghaasyiyah/88:21-22, “Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaithir”, Sampaikan ajaran (Tuhan) karena sesungguhnya engkau orang yang menyampaikan ajaran, dan engkau bukanlah orang yang ditugasi untuk menguasai mereka. Dan ayat senada ada pada QS 87:9, yaitu Nabi s.a.w. diperintah untuk menyampaikan ajaran, karena ajaran dari Tuhan itu bermanfaat bagi manusia.
Kemudian, dimana letak Al Hadis dalam pengajaran kalam Ilahi kepada umat manusia? Jadi, di dalam mengajarkan kalimat-kalimat Tuhan kepada manusia, Nabi memberikan contoh-contoh yang pas bagi yang beliau ajar. Nabi memberikan contoh sesuai dengan daya tangkap dan tingkat kecerdasan orang-orang yang beliau ajar. Karena itu hadis-hadis itu sifatnya kasuistis. Al Hadis adalah produk atau jawaban bagi masalah yang dihadapi oleh umat pada waktu kehidupan Rasul di bumi. Sehingga Al Hadis harus ditempatkan sebagai referensi dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi. Masalah dalam kehidupan manusia terus berkembang karena adanya perubahan lingkungan hidup manusia. Untuk memberikan solusi yang islami, umat Islam harus merujuk kepada Nabi, bukan meniru Nabi. Beliau telah memberikan “uswatun hasanah” atau contoh-contoh yang baik dalam memberikan solusi.
Masalah yang paling pokok bagi manusia adalah masalah psikologis, masalah yang terkait dengan faktor kejiwaan. Dapat dikatakan 95% problem manusia adalah problem yang muncul dari jiwanya. Dan, agama-agama diturunkan kepada manusia adalah untuk memberikan jawaban bagi jiwa manusia agar manusia menjadi terarah hidupnya dan dapat menemukan jalan hidupnya. Oleh karena problema manusia itu problema jiwanya, dan daya tangkap dan kecerdasan manusia itu berbeda-beda, maka untuk hal-hal yang bersifat sangat abstrak atau batiniah, oleh Nabi, diajarkan pada orang-orang tertentu saja. Dan sumber ajaran tasawuf kalau dirunut hingga akarnya akan dijumpai pada Abubakar dan Ali bin Abi thalib, dan penghulunya adalah Muhammad Rasulullah s.a.w.
Dengan demikian mematuhi Allah dan Rasul-Nya tidak sama dengan meniru yang tersurat dalam Al Quran dan Al Hadis. Meniru yang tersurat akan melahirkan sikap spekulatif. Dan, akhirnya mengabsolutkan yang relatif. Hal demikian ini disinggung dalam QS 62:5, Tuhan membuat permisalan bagi orang-orang yang berkewajiban mempelajari isi Taurat, tetapi mereka tidak mau mempelajarinya untuk menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya, maka mereka itu diumpamakan sebagai keledai yang mengangkut kitab-kitab yang tebal. Tentu saja kitab-kitab itu tidak bisa menjadi petunjuk bagi keledai. Kitab itu tak akan menjadi solusi bagi mereka. Bahkan kalau cuma dibawa secara fisik, cuma disentuh kulitnya, akan menjadi beban bagi dirinya. Hasil akhirnya adalah kezaliman. Dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang lalim, “Wallaahu laa yahdi l-qauma zh-zhaalimiin,” seperti pada ujung ayat tersebut.
Umat manusia tidak diperintah untuk meniru Rasul atau bertaklid kepada beliau, maka itu Allah memerintah Rasul untuk menyeru kepada jalan Tuhan itu dengan menggunakan al-hikmah dan pengajaran yang baik. Jadi, umat diperintah oleh Allah untuk berittiba‘, mengikuti ajaran beliau. Dan beliau serta orang-orang yang menjadi ahli waris ajaran beliau diperintah untuk menyeru ke jalan Tuhan dengan menggunakan hikmah dan peng-ajaran yang baik. Ayat selengkapnya pada QS 16:125 sebagai berikut,
“Ud-‘u ilaa sabiili rabbika bi l-hikmati wa l-mau-‘izhati l-hasanati wa jaadilhum bi l-latii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a‘lamu bi man dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a‘lamu bi l-muhtadiin.”
“Serulah mereka itu kepada jalan Tuhan engkau dengan menggunakan hikmah dan mauizhah yang baik. Dan berargumenlah dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Marilah kita rinci pengertian ayat tersebut. Kita pahami kandungannya.
Pertama, Nabi?dan orang-orang yang menjadi ahli waris kenabian?diperintah untuk mengajak manusia ke jalan Tuhan. Coba perhatikan makna kata “ajakan”. Jelas bahwa ajakan tidak sama dengan paksaan. Jika kita melihat tingkah laku umat sekarang ini tampak sekali adanya paksaan untuk mempraktikkan agama. Sedangkan Al Quran sendiri menyebut bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”. Lihat kembali surat ke-88 di atas. Betul-betul kehidupan beragama itu sebagai ajakan. Di sini harus bisa kita bedakan dengan pelarangan untuk berbuat kriminal. Untuk mencegah timbulnya kriminalitas atau kezaliman dalam hidup bernegara ini, pemerintah yang berkewajiban menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan warga berkewajiban mematuhinya. Nah, di sini kita harus memahami mana ayat-ayat yang menunjukkan Muhammad sebagai Nabi, dan Muhammad sebagai Kepala Negara/Pemerintahan.
Ke dua, diajak menuju jalan Tuhan. Lho, Tuhan punya jalan? Pengertian ayat itu adalah Tuhan telah menciptakan “sabiil” atau jalan bagi ciptaan dan ‘amr (kehendak)-Nya. Ciptaan adalah sesuatu yang menjadi ada melalui sebuah proses, sedangkan kehendak-Nya ada tanpa proses kejadian. Nah, proses kejadian dan kehendak itu mengikuti suatu jalan yang telah ditetapkan Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Dan, jalan yang telah ditentukan Tuhan itu banyak. Karena itu, kata “sabiil” mempunyai kata pluralnya yaitu “subul”. Jalan-jalan ini pada akhirnya menjadi satu di jalan yang besar yang disebut “shiraath”. Dengan demikian, ada satu shiraath yaitu “shiraath al-mustaqiim”. Dan petunjuk ke jalan yang lurus inilah yang kita minta dari Tuhan.
Ke tiga, cara mengajak kepada jalan Tuhan itu pun harus menggunakan “hikmah” atau “wisdom”. Tidak ada sekolahan atau tempat belajar untuk memperoleh hikmah. Karena hikmah bukan materi atau sesuatu yang tampak. Hikmah sendiri berasal dari kata “hukum”, karena itu hikmah merupakan esensi kebenaran yang tampak. Diceritakan di dalam Al Quran, surat Al Baqarah/2:251, bahwa Daud sebelum diangkat menjadi Nabi, memperoleh hikmah dari Tuhan. Sehingga beliau mampu mengalahkan Jalud, yang jauh lebih kuat, hanya dengan ketapel. Nah, ide menggunakan ketapel untuk membunuh Jalud itu namanya hikmah. Karena hikmah itu sebuah esensi sebuah kebenaran yang tampak, maka ia tidak bisa didentifikasi layaknya sebuah produk. Sebab jika sekarang Anda bertempur dengan orang yang menggunakan bedil, lalu Anda menggunakan ketapel, ya Anda akan kalah dan kemungkinan besar mati. Ketapel ditangan Anda bukan lagi hikmah namanya. Karena itu hikmah harus digali dan dicari. Tetapi hikmah tak akan kita dapatkan bila kita berlaku lalim, karena Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang bertindak zalim, aniaya, yang merugikan.
Ke empat, disamping menggunakan hikmah, orang harus kita ajak dengan menggunakan mau-izhah yang baik. Kata mau-izhah berasal dari “wa- ‘a-zha” yang artinya memberikan nasihat atau peringatan. Jadi, mau-izhah artinya pelajaran yang mengandung nasihat dan peringatan. Dan itu pun harus yang baik, yang tidak menyakitkan hati orang yang di ajak melalui jalan Tuhan. Lha, kalau mengajaknya itu bukan dengan cara yang baik, maka yang diajak akan ketakutan atau malah tidak percaya. Dengan hikmah ajakan itu akan tepat sasaran, dan dengan mau-izhah yang baik yang diajak akan masuk dengan puas.
Ke lima, berargumen dengan cara yang sebaik-baiknya. Kadang kala yang diajak itu minta penjelasan dan bahkan membantah. Dalam keadaan demikian, ajakan itu harus disertai argumen atau bantahan yang sebaik-baiknya. Bukan hanya cara yang baik, tetapi yang lebih baik. Sehingga yang diajak tidak tersinggung hatinya.
Ke enam, ajakan itu harus disertai kewaspadaan. Di ujung ayat tersebut dikatakan bahwa Tuhan lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya. Meskipun dalam ayat itu dinyatakan “Tuhan lebih mengetahui”, namun dalam praktik, orang yang mengajak kepada jalan Tuhan itu yang harus waspada. Dengan kewaspadaan itu amalan untuk mengajak kepada jalan Tuhan tidak menjadi sia-sia, yaitu kehilangan waktu dan tenaga. Waspada artinya cermat, siapa yang diajaknya berdebat atau berargumentasi itu. Dengan demikian tidak timbul debat kusir.
Ke tujuh, kewaspadaan itu harus diikuti dengan persuasi atau kesantunan. Jika sudah di-cermati bahwa orang yang diajak kepada jalan Tuhan itu sungguh-sunnguh orang yang mau mengikuti, maka selanjutnya adalah menyantuninya dengan memberikan binaan dan bimbingan. Dengan cara ini terbentuklah kehidupan umat yang harmonis, yang setara dalam pergaulan hidup, sama-sama berada di jalan Tuhan.
Nah, belajar tasawuf sebenarnya belajar untuk dapat mencari dan memperoleh hikmah dalam kehidupan ini. Dengan memperoleh hikmah, kita tidak lagi beribadah untuk mencari surga atau karena takut neraka. Karena hikmah itu sendiri merupakan kebajikan, rahmat, keuntungan, “advantage” yang banyak. Sekian pelajaran hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan kita lanjutkan bagian ke-3.
No comments:
Post a Comment